Saat itu jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari, ketika Wagirah dan teman-temannya tiba di Pasar Beringharjo dari kabupaten Kulonprogo yang berjarak sekitar 35 Kilometer dari kota Yogyakarta. Wagirah adalah seorang lansia berusia 70 tahun yang bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo. Sembari menunggu kendaraan angkutan distribusi bahan pangan yang tiba dari Magelang sebelum adzan Subuh berkumandang, Wagirah dan para buruh gendong tidur di emperan toko.


Ketika kendaraan pengangkut bahan pangan tiba, dengan sigap Wagirah mengangkut karung-karung berisi bahan pangan yang beratnya kadang mencapai 40 kilogram. Namun sayang upah yang ia terima seringkali tidak sesuai dengan berat beban yang ia gendong di punggungnya. Ia mendapat upah dari mulai dua ribu hingga lima ribu rupiah, tergantung dari berat beban yang ia gendong. Mengapa?Karena pekerjaan buruh gendong hingga saat ini belum diakui sebagai sebuah profesi oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibatnya tidak ada standarisasi upah bagi buruh gendong.

Beban berat yang digendong Wagirah kadang melampaui kemampuan fisik manusianya yang telah lanjut usia. Tak jarang ia kelelahan. Namun saat lelah, Wagirah sadar ia harus libur dan memanjakan tubuhnya dengan meminum jamu, pijat, maupun memeriksakan kesehatannya di puskesmas.Wagirah hanyalah satu dari 200-an wanita berusia 35 hingga 80 tahun yang kini bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo Yogyakarta.

Bagi sebagian besar orang, pekerjaan yang dilakukan Wagirah adalah sebuah penderitaan. Itulah kesombongan manusia, selalu membandingkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dialaminya dalam kehidupan. Padahal beberapa buruh gendong mengaku mereka justru sangat berbahagia dengan pekerjaannya. Hal ini terkait tradisi kerja keras di kalangan masyarakat Jawa jaman dulu yang masih dipegang teguh oleh Wagirah. Daripada menganggur di rumah dan menjadi beban anak cucu, Wagirah lebih senang bekerja. Baginya pekerjaan mengangkut barang, selain mencari uang, juga sebuah pengabdian pada kehidupan. Hal ini terkait dengan tradisi Jawa jaman dahulu dimana seseorang dengan sukarela mengabdikan dirinya pada sultan dan para bangsawan. Bagi masyarakat Jawa, sultan adalah ulama dan orang suci yang tercerahkan. Sultan dianggap sebagai representasi dari guru, pemimpin, dan kehidupan itu sendiri. Sultan bukanlah sosok manusia semata.. Namun bagi orang Jawa, pengabdian kepada sultan seperti yang dilakukan abdi dalem keraton dan buruh gendong, adalah praktek untuk melepaskan ego keakuan. Banyak diantara kita sekarang, yang walaupun digaji mahal, namun tidak mau diperintah-perintah akibat ego keakuan yang melekat pada diri kita. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Jawa dimana setiap jengkal tanah adalah ajaran suci baginya untuk melatih diri. Bagi para buruh gendong dan abdi dalem, pekerjaan mereka bukan dilakukan semata -mata karena uang, namun merupakan praktek latihan untuk melepaskan ego sebagai bagian dari ajaran spiritualitas Jawa yang masih dipegang teguh oleh sejumlah orang di Yogyakarta.Itulah mengapa mereka rela dibayar sedikit, karena bagi mereka mengabdikan diri berarti berharap berkah dari sultan. Apa berkahnya?Melepaskan ego diri pribadi.

Bagi masyarakat sekarang yang penuh ego dan telah melupakan ajaran suci spiritualitas leluhur Nusantara, tentunya pekerjaan buruh gendong dan abdi dalem adalah perbudakan. Mereka tidak sadar betapa sombongnya orang sekarang yang menganggap semua hal harus dibayar dengan uang . Masyarakat modern yang materialistis tidak akan paham dengan apa yang dilakukan Wagirah dan para buruh gendong. Bagi Wagirah, pekerjaan buruh gendong adalah sarana untuk mencari uang sekaligus sarana untuk berlatih melepaskan ego mereka. Mereka tidak malu menjadi manusia yang dianggap rendah. Bahkan para wanita kuat ini telah membuat saya belajar, bagaimana dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Jawa, selalu ada cara untuk melatih diri guna mencapai tujuan manunggaling kawula Gusti, atau peleburan dengan Ia yang Maha Sunyi. Mereka bahagia dengan pekerjaannya, tidak seperti pandangan kebanyakan orang yang mengasihani mereka dengan kesombongan dan ketidaktahuan akan ego dirinya sendiri..



Wahyu Juniawan Desember 28, 2022
Read more ...

 Mengapa terjadi koneksi antara seseorang dengan leluhur di sejumlah tempat?


Saya pernah iseng mampir ke candi Mendut di Magelang, setelah muter muter naik motor keliling sputar kawasan Borobudur. Saat itu pandemi Covid 19 masih merajalela sehingga tidak ada satupun orang yang boleh memasuki halaman candi termasuk saya. Saya pun hanya mengucapkan salam dari luar halaman candi. Tiba-tiba tanpa sebab, bulu kuduk saya berdiri terutama di bagian kedua tangan saya. Istri saya juga heran. Hal itu terus terjadi hingga saya sampai rumah.

Selang beberapa hari kemudian, saya pun ditunjukkan mengapa hal tersebut terjadi. Ternyata jawabannya sangat ilmiah. Hal itu terkait dengan DNA yang ada dalam diri masing-masing tubuh manusia. DNA adalah cetak biru memori dari garis leluhur setiap manusia. Memori tidak hanya berupa memori fisik saja, namun juga memori dalam ingatan atau perbuatan yang pernah dilakukan semua leluhur yang satu garis dengan kita. Semakin jauh jarak leluhur semakin kecil pula energinya. Setiap tempat yang pernah didatangi leluhur dan tempat itu memiliki rasa yang mendalam bagi leluhur kita, maka memorinya juga akan tersimpan di tempat tersebut. Dan ketika kita mengunjungi tempat tersebut, maka energi dalam DNA kita yang menyimpan kenangan akan tempat tersebut, akan terkoneksi dengan energi leluhur yang tersimpan di tempat tersebut. Ketika energi yang sama bertemu dan saling tarik menarik, maka yang terjadi kemudian seperti sebuah kabel listrik yang disambungkan ke sebuah lampu : menyala. Demikian pula DNA kita yang menyimpan memori leluhur kita yang tadinya pasif, kemudian menjadi aktif. Akibatnya bermacam-macam dimana masing masing orang berbeda beda. Ada orang yang merasa terhubung secara rasa dengan energi leluhur, ada yang seperti saya meresponnya secara fisik, namun bagi orang yang peka, pikirannya akan memproyeksikan kenangan tersebut serta akan terlihat nyata. Ada yang bahkan kemudian bisa berkomunikasi dengan para leluhurnya.

Sebenarnya tidak hanya tempat penuh emosi saja yang menyimpan memori kuat. Ada pula benda benda lama yang pernah dimiliki atau dicintai leluhur kita seperti senjata yang berupa keris, mandau, atau tombak. Mengapa?karena benda benda tersebut dirawat dengan penuh cinta dan emosi oleh para leluhur. Itulah mengapa dalam tradisi Jawa, benda pusaka yang layak dimiliki adalah benda pusaka milik leluhurnya karena memiliki energi yang sama. Menurut salah satu teman yang hobi dengan keris, sebenarnya keris pusaka tidak boleh diperjual belikan. Seseorang yang ingin memiliki keris disarankan untuk membuat melalui seorang empu keris berpengalaman, atau jika tidak, ia mendapatkan kepercayaan untuk merawat keris leluhurnya. Jika tidak, sering terjadi sebuah keris yang dimiliki seseorang tidak cocok dan "memberontak" karena keris tersebut bukan keris leluhurnya yang satu frekuensi energi dengannya. Tidak hanya pusaka, bahkan baju, hingga cincin pun menyimpan memori leluhur jika benda tersebut menjadi kesayangan para leluhur. Apa yang dimaksud khodam sebenarnya bukan jin atau mahluk halus yang mendiami sebuah benda atau keris, melainkan energi yang tersimpan dari sebuah benda atau keris. Ketika energinya terkoneksi dengan energi kita, maka seseorang yang memiliki kepekaan akan memproyeksikan wujudnya sesuai memori yang ia miliki.

Kadang banyak orang yang berpikir, semua hal yang terkait tradisi masa lalu adalah klenik atau syirik. Padahal orang tersebut sebenarnya orang yang tidak tahu sama sekali tentang adat tradisi dan alam semesta saja. Jika tahu dan paham, maka anda akan tahu jika semua hal yang dianggap ghaib sebenarnya sangat ilmiah dan masuk akal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh ilmuwan jenius asal Kroasia Nikola Tesla yang mengatakan alam semesta ini terdiri dari energi, frekuensi, dan vibrasi. Hal itu kemudian terbukti dengan penelitian fisika quantum yang semakin berkembang. Artinya tidak ada yang namanya ghaib, klenik, keajaiban, keberuntungan dan lain lain. Semua selalu ada sebabnya..

Saya juga baru tahu dari ibu saya jika jaman dahulu, nenek buyut saya sangat sering melakukan sembahyang dan ritual di candi Mendut. Jadi silakan cari sendiri jejak leluhur anda. Apa gunanya mengenali leluhur kita?Yang paling sederhana adalah bagaimana kita bisa berbakti dan mengucapkan terima kasih karena tanpa mereka, kita tidak akan ada di kehidupan ini. Asal jangan minta kekayaan kepada para leluhur. Kita adalah titisan leluhur kita yang menitis melalui DNA kita..
Tradisi Jawa dan Nusantara sangat ilmiah dan rasional. Mereka yang membencinya adalah mereka yang tidak tahu, tidak mau tahu, dan tersesat terlalu jauh tanpa pernah sadar...



Wahyu Juniawan Desember 28, 2022
Read more ...
Rasanya aku tak ingin beranjak dari keheningan batinku..
Aku ingin berlama-lama denganmu, 
dan menjauh dari kehidupan yang berisik dan semu..
Hanya diam dalam rinduku akan pelukanmu..

Seperti Bima yang tak ingin berpisah dari Dewa Ruci..
Menyatu dalam samudera sunyi ketika senja beranjak hadir..
Aku tak ingin apa-apa lagi..
Aku hanya ingin berlama-lama di sini..

Dengan lembut dan perlahan kau menuntunku kembali..
Lalu aku melihat para Rsi melantunkan mantra suci..
Indahnya lambaian gaun para sufi berkontemplasi..
Dan gemulai gerak para penari bermeditasi..

Kedamaian tak kan tersentuh tanpa perjalanan ke dalam diri...
Cinta terlalu indah untuk dipahami..
Keheningan begitu lembut untuk dihayati..
Kehidupan terlalu sederhana untuk dimaknai..

Ijinkan aku yang rindu untuk selalu kembali..
Duduk diam menepi di sini
Walau kau selalu menyertaiku tanpa aku sadari
Maafkan aku yang selama ini lupa dan membuatmu menungguku 
dalam lautan cinta yang sunyi...









Wahyu Juniawan Desember 16, 2022
Read more ...

Saya dahulu pernah ditunjuk sebagai produser sebuah program televisi, yang meliput kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan seseorang dalam bertahan hidup, mulai dari sisi ekonomi maupun mereka yang sakit parah. Awal masuk program tersebut, saya mengira program tersebut benar-benar inspiratif mengangkat perjuangan hidup seseorang. Namun ternyata saya salah. Ternyata banyak orang yang tidak bisa membedakan antara rasa kasihan dan empati, termasuk mereka yang memproduksi program-program televisi.

Setiap mengajar di sebuah kampus jurusan televisi, saya selalu mengingatkan agar mahasiswa bisa membedakan antara rasa kasihan dengan empati yang menginspirasi, ketika mengangkat sebuah topik program. Rasa kasihan dan empati jelas berbeda. Rasa kasihan adalah wujud dari rasa sombong yang jarang kita sadari. Contoh rasa kasihan adalah ketika kita melihat seorang ibu tua jualan minuman sambil lesehan di sebuah sudut jalan Malioboro Yogyakarta. Kita melihat ibu itu dan merasa tersentuh dengan kondisinya. Namun hanya sebatas itu saja. Tidak ada hal lain yang kita bisa ambil hikmah dari ibu tersebut selain rasa kasihan karena sudah tua masih jualan minuman yang untungnya tak seberapa demi bertahan hidup. Rasa kasihan kita akan memunculkan rasa ingin membantu, namun tanpa sadar kita sedang mengumbar kesombongan yang sangat halus. Padahal kita tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Permasalahannya bukanlah anda membantu atau tidak. Tapi sekali lagi rasa kasihan adalah wujud kesombongan yang sangat halus, menyamar seolah-olah menjadi rasa simpati. Padahal hal itu sama sekali bukan simpati, namun bentuk dari pikiran anda yang merasa "lebih" beruntung, lebih punya uang, lebih makmur, lebih "tinggi" derajadnya dari si ibu tersebut. Sekali lagi ini bukan masalah anda membantu atau tidak. Namun jangan salah, tidak semua hal yang ada di depan anda adalah seperti yang anda kira. Pengalaman saya di bawah ini menjelaskan hal tersebut.

Di sebuah hutan di pedalaman Sumatera Barat, terdapat seorang ibu tua berumur kurang lebih 70 an tahun, yang dipanggil emak oleh warga sekitar. Emak memiliki seorang anak bernama Buyung. Buyung saat itu berumur 40 tahunan. Namun karena menderita keterbelakangan mental dan buta, sampai seusia itu Buyung belum berkeluarga. Ia membantu emak berjualan sapu lidi di pasar. Satu sapu lidi dihargai 10 ribu rupiah, dari harga modal 5 ribu rupiah. Setiap pagi sehabis sholat Subuh, mereka berdua berangkat ke pasar yang berjarak sekitar 30 kilometeran dari rumah emak dan Buyung. Lebih miris lagi adalah mereka berangkat ke pasar menggunakan gerobak kayu kecil beratap. Buyung yang masih kuat berjalan walau buta, menarik gerobak. Sementara emak yang masih bisa melihat, namun sudah tak kuat berjalan, duduk di dalam gerobak sambil mengarahkan jalannya Buyung yang menarik gerobak tanpa alas kaki. "Kiri buyung! Kanan buyung! awas depan belok kiri!..."
Setiap hari mereka berdua menempuh jarak 60 kilometeran pulang pergi, dan hanya menghasilkan keuntungan rata-rata 20-30 ribu rupiah setiap hari. Saya dan reporter merasa kasihan dengan nasib emak dan Buyung. Kami pun merencanakan memberikan sedikit uang kami untuk membantu kehidupan emak. Uang tersebut kami beri amplop dan kami berikan saat kami hendak berpamitan pulang ke Jakarta. Namun rasa kasihan kami ternyata malah menasbihkan kesombongan kami yang merasa orang lebih mampu, orang lebih beruntung, dan lebih segalanya. Ketika saya beri uang, emak menolak dengan tegas!
"Bukan begini nak caranya bersilaturahmi. Kami membutuhkan uang, namun kami bukan pengemis. Kalau anak menganggap kami ini orang miskin, sebaliknya kami menganggap kami kaya sebagai rasa syukur kepada Allah. Saya masih diberi sehat, Buyung juga. Kami masih bisa makan walau seadanya. Kami masih bisa saling membantu, bahkan saya masih bisa membantu tetangga desa sebelah ketika ada yang sakit, walau uang kami pas-pasan. Semua orang butuh uang nak, namun tidak semua orang menganggap uang adalah pemecah masalah. Justru banyak orang yang tidak memahami, bagaimanapun kehidupan kita, susah senang itu kita sendiri yang menjalani. Orang lain hanya menghakimi kita miskin atau kaya, susah atau senang. Namun ketika kita terus berterima kasih, hidup akan menjadi berbeda. Orang lain hanya melihat luarnya saja, merasa kasihan, padahal saya tidak butuh dikasihani. Anak mengunjungi kami, kami bertambah saudara, itu sudah berkah untuk kami....Jadi jangan beri kami uang nak...nanti kami akan terbiasa meminta...."Jawab Emak.
Setelah emak menolak uang kami, suasana menjadi sangat hening. Tinggal suara jangkrik di pinggir hutan menyadarkan betapa sombongnya kami akibat rasa kasihan yang tak beralasan. Apalagi ditambah kecongkakan kami yang menyelesaikan masalah dengan uang. Namun karena saya sudah menyita waktu emak dan Buyung, sebagai gantinya saya lantas membeli semua sapu yang tersisa di rumah emak agar ia besok bisa sehari libur berjualan, sekaligus pengganti ketenangannya yang hilang akibat kedatangan kami.

Begitulah rasa kasihan. Ia adalah kesombongan yang menyamar. Hal itu berbeda dengan empati. Dari cerita di atas, rasa kasihan saya berubah menjadi empati. Mengapa? Karena prinsip emak, saya menjadi sangat kerdil, menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, menyadari kesombongan saya, dan menjadi kagum dengan prinsip emak yang membuat saya banyak belajar dari emak dalam memandang penderitaan hidup.

Kembali lagi ke program televisi, kini anda jadi tahu, banyak program televisi yang seolah-olah program inspirasi, namun jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya program-program tersebut hanya menjual rasa kasihan demi rating program televisi. Mengapa?karena banyak yang tidak bisa membedakan antara rasa kasihan dan empati. Kasihan adalah rangkaian benang halus dari kesombongan kita, sementara empati adalah rasa yang muncul saat kita yang tidak tahu apa-apa ini dapat belajar ilmu kehidupan dari orang-orang yang bahkan dipandang sebelah mata oleh manusia lain, namun di mata Tuhan mereka adalah orang-orang yang diberikan tugas menjadi guru bagi manusia lain. Jadi ini bukan masalah membantu atau tidak. Jika anda perlu membantu, bantulah, namun jangan membantu karena anda merasa lebih beruntung dari orang lain. Bantulah karena kesadaran bahwa kehidupan ini saling terkait. Mereka adalah anda, anda adalah mereka. Seperti juga tubuh anda, ketika satu bagian tubuh sakit, maka sekujur badan akan terasa sakit. Tidak ada yang lebih penting, lebih beruntung, lebih kaya satu sama lain. Semua memiliki kebahagiaan dan penderitaan yang berbeda beda. Jangan anggap hidup orang lain harus sama dengan prinsip yang anda percayai. Mencuri tidak selalu buruk, dan membantu juga tidak selalu baik. Gunakan kesadaran dan kebijaksanaan untuk melihat segala sesuatu dengan jernih dari berbagai sisi. Jika anda ingin membantu, bantulah semua yang membutuhkan, karena rasa cinta, bukan karena rasa kasihan, bahkan yang lebih parah karena faktor surga dan neraka..



Wahyu Juniawan Desember 15, 2022
Read more ...

Saya pernah diminta menjadi pembicara di depan sebuah forum bertema komunikasi di dunia science yang dihadiri oleh dokter-dokter senior yang sebagian telah menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat saya menerima tawaran tersebut, saya enteng-enteng saja. Namun menjelang hari H forum, saya tidak bisa tidur. Stres mengingat tamu tamu yang hadir nanti adalah orang orang pandai yang sudah memakan asam garam di dunia kedokteran. Apalagi teman saya mengatakan hal yang semakin membuat saya stres, "Nanti pakaian rapi, jaga sopan santun, dan bikin materi yang menyenangkan..."

Saya ingat bagaimana di otak saya, ratusan pertanyaan muncul serempak tanpa terbendung. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan nanti?Bagaimana jika nanti materi saya membosankan?Bagaimana jika saya salah berbicara?Bagaimana jika saya diberi pertanyaan yang sulit saya jawab?Siapakah saya ini?Saya bukan siapa siapa dibandingkan para hadirin..dan ratusan pikiran lain yang berseliweran tanpa terbendung. Di hari H, untuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan sudah terasa sangat berat, apalagi ketika memulai pembicaraan dan pemaparan materi. Lidah terasa kaku, dan benar...situasi mencekam seperti puncak cerita film horor. Lima menit terasa sangat menegangkan.

Setelah saya berbicara 5 menit, 10 menit, 15 menit, situasi berangsur angsur cair. Ternyata situasinya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Para dokter senior tersebut justru penuh canda tawa. Ada memang satu dua yang terlihat kaku, nanun rata-rata peserta justru membuat suasana menjadi sangat hidup. Kalimat demi kalimat pun keluar dari mulut saya tanpa ada keraguan. Di akhir sesi, saya bahkan mendapat banyak terima kasih dari para dokter hebat tersebut!

Setelah forum itu, saya merenungkan semuanya. Ternyata benar apa kata guru saya. Sebuah pekerjaan akan terasa sangat berat ketika kita terlalu banyak berpikir tentang pekerjaan itu. Apalagi jika pekerjaan tersebut tidak kita sukai. Pikiran akan memunculkan keluhan-keluhan yang tidak beralasan. Padahal ketika pekerjaan itu berlangsung, semuanya begitu ringan kita jalani. Seringkali sebelum melakukan pekerjaan kita terlalu banyak berpikir ini itu, mengkhawatirkan ini itu, menimbang ini itu yang semuanya bahkan belum kita jalani. Beberapa orang bahkan lebih fokus pada hal-hal negatif, termasuk hal negatif dirinya, dibandingkan hal positif. Dalam kasus di atas contohnya. Para dokter senior tersebut benar-benar pandai, namun pandai pada bidangnya yakni kedokteran. Untuk urusan komunikasi, tentulah saya sebagai orang media lebih berpengalaman. Bukankah mereka mau belajar dari saya?

Begitulah manusia, daripada langsung bekerja, banyak yang lebih memilih terlalu banyak berpikir terlebih dahulu. Padahal sebuah pekerjaan akan terasa sangat ringan jika kita langsung mengerjakannya. Banyak yang belum belum sudah mengkhawatirkan ini itu. Pada saat itu ego lah yang bekerja Ego adalah sistem pertahanan diri. Belum-belum sudah fokus ke hal hal negatif, lalu muncul kekhawatiran jika nanti "aku" dipermalukan, dihina, dilecehkan, disudutkan, dijadikan omongan di belakang, tidak lagi dihargai, tidak lagi dihormati, mengecewakan orang lain, dan banyak ego "aku" "aku" lainnya. Padahal seharusnya saya justru fokus pada kelebihan saya saja dan mempersiapkan materi yang akan saya sajikan. Ketika semua saya kerjakan begitu saja dan menyerahkannya pada mekanisme alam semesta dengan kepasrahan, hukum alam semesta akan mengarahkan saya kepada situasi dimana semua akan baik baik saja. Hal ini juga ternyata berlaku di pekerjaan-pekerjaan saya lainnya...





Wahyu Juniawan Desember 15, 2022
Read more ...

Seorang guru bijak ditanya oleh para murid di sesi pengajaran malam,

"Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sunyata atau realitas sejati dan benar-benar benar mengenali diri kita yang sejati?"

Sang guru diam tanpa kata.

Para murid bingung mengapa sang guru tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"Guru..apa jawabannya?"Tanya para murid.

"Bukankah aku sudah menjawab?"Kata sang guru.

Para murid kebingungan, karena sang guru belum menjawab apa-apa.

"Kamu terlalu banyak bertanya...diamlah...."

Akhirnya para murid paham dan tidak lagi bertanya...



Wahyu Juniawan Desember 13, 2022
Read more ...

Ada sesuatu yang paling besar di alam semesta ini. Sesuatu yang paling besar itu dinamakan pikiran. Mengapa paling besar?Karena dunia 3 dimensi ini dengan segala mahluk paling besar sekalipun ada di dalam pikiran. Pikiran adalah masa lalu. Bahkan segala yang anda lihat dan rasakan dengan panca indera adalah masa lalu. Jika masa lalu dan masa depan tidak ada, demikian pula saat ini. Saat inipun tidak ada, semua yang anda lihat dan alami adalah masa lalu. Realitas adalah cahaya dan energi yang dibendakan. Tidak ada bentuk, karena semua bentuk ada di pikiran kita. Kita adalah layar dari pikiran kita. Realitas sejati ada, namun realitas sejati bukanlah bentuk dan realitas yang anda alami saat ini.


Pikiran adalah yang anda sebut sebagai "aku". Sekali lagi, pikiran adalah yang anda sebut sebagai "aku". Tunjuklah "aku", maka anda hanya akan menemukan konsep-konsep yang tidak nyata. Anda pun tidak akan bisa menunjuk amarah, benci, iri, dan lain-lain, karena "aku" benar-benar konsep yang penuh kerangka, tidak tunggal. Lalu siapa aku yang sebenarnya?

Damai?Apa yang dimaksud damai?Damai adalah ketika anda tidak lagi menggunakan pikiran yang mana pikiran adalah "aku" dan masa lalu, bukan saat ini. Bahkan apa yang anda lihat saat ini adalah masa lalu. Damai adalah ketika anda benar-benar ada di saat ini saat pikiran tidak aktif, dan tidak pula memiliki sesuatu yang diusahakan. Bahkan ketika anda mengusahakan damai, apa yang anda temui justru bukanlah damai. Anda akan merasakan diri sejati ketika anda tidak berada di masa lalu, masa depan, bahkan saat ini. Mengapa?karena ketiganya tidak nyata dan tidak benar-benar ada termasuk saat ini. Namun ketika anda memasuki saat ini yang benar benar saat ini, disitulah letak diri sejati...letak damai...letak kebahagiaan sejati. Karena untuk merasakan saat ini yang benar-benar saat ini, bukan saat ini yang merupakan imajinasi pikiran, anda perlu untuk menonaktifkan semua panca indera dan pikiran.

Konsep ini sangat sulit dipahami bagi anda yang baru saja memulai perjalanan pencarian diri. Apalagi memahami konsep rumit, bahwa saat ini dan segala materi yang anda saksikan dan rasakan tidak benar-benar saat ini, melainkan masa lalu...
Namun jangan khawatir...dengan ketekunan dan kesabaran, anda akan dituntun untuk memahami..



Wahyu Juniawan Desember 12, 2022
Read more ...

Pagi itu, Wajah Seruni begitu cemberut. Ia terlihat jengkel dengan sesuatu. Danang Aji melihatnya dan bertanya,
"Mengapa wajahmu berlipat-lipat seperti baju belum diseterika begitu Seruni?"tanya Danang Aji sembari tersenyum.

Dikatakan begitu, Seruni bertambah cemberut.
"Hari ini aku dapat tugas dari guru, harus membersihkan seluruh kamar mandi karena kabarnya akan ada rombongan tamu dari luar kota menginap di padepokan. Harusnya jadwal yang bertugas membersihkan kamar mandi adalah Mahesa. Tapi katanya Mahesa sakit, jadi aku disuruh guru untuk menggantikan tugasnya membersihkan kamar mandi-kamar mandi yang akan digunakan para tamu. Padahal aku sudah punya janji dengan Kenari akan ke taman, mengulang ajaran tadi malam. Dasar guru! kan masih banyak murid yang lain selain aku yang bisa menggantikan Mahesa. Kenapa harus aku yang membersihkan kamar mandi?Bisa seharian aku membersihkan 10 kamar mandi!

Melihat Seruni marah-marah, Danang Aji tersenyum.
"Seruni..tahukah kamu, apa yang memberatkan pekerjaanmu?Yang membuat pekerjaanmu berat bukanlah membersihkan kamar mandinya, namun pikiranmu sendiri. Kamu terus berpikir dan mengomel, tidak mau menerima, dan memilih untuk terus menerus marah. Jika kamu sekarang memulai pekerjaanmu tanpa berpikir, semua akan mudah. Banyak orang yang merasa hidupnya berat. Namun sesungguhnya yang berat bukan hidupnya, namun ketika orang itu terus berpikir tentang beratnya hidup. Hidup hanya dijalani tanpa berpikir. Berpikirlah ketika kamu butuh kecerdasan pikiranmu, selebihnya berhenti berpikir dan mulailah bekerja..."

Lalu sekitar jam 12 siang, semua pekerjaan Seruni selesai lebih cepat dari perkirannya semula. Ia pun menemui Danang Aji yang sedang menyapu halaman samping padepokan.
"Benar mas...ternyata pekerjaanku tidak seberat yang aku kira. Ternyata yang membuat pekerjaanku berat adalah aku terus menerus berpikir dan tidak mau menerima. Setelah aku kerjakan tanpa berpikir dan ngomel, pekerjaanku lebih cepat selesai dari perkiraanku. Sekarang aku bisa menemui Kenari...."

Danang Aji tersenyum melihat Seruni berlari-lari kecil menjauh dari dirinya, untuk menemui Kenari di taman...



Wahyu Juniawan Desember 11, 2022
Read more ...

Mulai tahun 2015 an, seiring dengan semakin naiknya trend kopi di kalangan anak muda, Yogyakarta menjelma menjadi kota yang penuh dengan kafe-kafe kopi. Setiap kafe kopi menampilkan desain-desain yang unik dan membuat orang betah berlama-lama berkunjung. Harapannya tentunya semakin lama berkunjung, semakin banyak pula uang yang akan dihabiskan sekadar hanya untuk menikmati kopi. 

Namun apakah para pengunjung benar-benar menikmati kopi?

Seorang teman saya adalah pengusaha salah satu kafe kopi kecil di kawasan Sleman. Suatu hari saya mengunjunginya dan berkesempatan mengobrol mengenai bisnis kopinya. Ia bercerita bahwa rata-rata kafe kopi, termasuk kafe kopi yang ia kelola, menyediakan meja kursi yang nyaman seperti sofa empuk, agar pengunjung betah berlama-alam mengobrol di kafenya. Uniknya meja kursi yang disediakan rata-rata menampung lebih dari 4 orang dalam satu kelompok meja kursi. Ternyata ini adalah stategi pemilik kafe untuk merespon trend nongkrong di kalangan anak muda sambil ngopi. Lalu di benak saya muncul pertanyaan, "Jika nongkrong sambil ngopi, darimana mereka bisa menikmati kopi?"

Seringkali kita mengaku menikmati sesuatu, namun sebenarnya itu hanya ego kita agar terlihat keren. Kita sebenarnya tidak sedang benar-benar menikmati apa yang kita makan atau minum. Ketika nongkrong sambil ngopi dengan banyak orang, perhatian kita justru akan tercurah lebih banyak kepada obrolan-obrolan seru kita. Pikiran kita akan bergerak kesana kemari memikirkan topik obrolan selanjutnya agar situasi tidak menjadi sepi dan membosankan. Kita justru lupa pada secangkir kopi yang sudah kita pesan dengan harga mahal. Tidak ada proses menikmati rasa kopi yang sebenarnya. Manis pahit, enak tidak enak menjadi tidak penting dibanding obrolan obrolan seru bersama teman-teman kita. Lalu dimana "trend kopi" nya?

Untuk bisa menikmati sesuatu kita sebenarnya hanya perlu diam. Benar-benar merasakan panasnya kopi yang terinduksi melalui cangkir. Benar-benar membaui aroma kopi panas yang segar. Benar-benar merasakan air kopi pelan-pelan masuk ke tenggorokan sampai memanaskan perut kita. Namun rata-rata mereka yang mengaku "mengikuti trend kopi" justru minum kopi seperti hanya formalitas agar terlihat keren dan gaul. Mereka tidak pernah benar-benar merasakan rasa kopi yang sesungguhnya. Kopi hanya faktor kedua setelah obrolan. Makanya harusnya mereka mengubah sebutan "trend kopi" menjadi "trend nongkrong di kafe kopi". 

Saya pernah melakukan sebuah peliputan di restoran chef terkenal Indonesia, William Wongso. Saat itu kami sedang melakukan peliputan dengan topik trend minuman anggur. Ketika itu William Wongso menuangkan dua gelas anggur, 1/6 gelas anggur merah dan 1/6 gelas anggur putih. Mengapa saya bilang 1/6? Karena anggur yang beliau tuang memang sedikit sekali. Namun katanya memang seperti itulah cara menikmati anggur yang berkelas. Beliau pun meminta saya dan reporter saya untuk mencoba menikmati anggur yang konon berumur tahunan dan berharga mahal tersebut. Saya yang buta pengetahuan tentang anggur, langsung menenggak habis anggur, yang takarannya mungkin jika diukur dengan satu botol anggur cap Orang Tua, porsi anggur yang saya tegak seperti sisa-sisa anggur yang telah habis diminum untuk mabuk. Chef William Wongso tertawa melihat saya menenggak habis anggur yang beliau tuang, dalam satu kali tenggakan. Beliau pun mengajari saya cara menikmati anggur secara "benar". 

"Minumnya pelan-pelan saja. Sedikit saja diminum, pelan-pelan dikumur-kumur dulu untuk memberikan kesempatan lidah merasakan rasa anggur, batu ditelan. Jangan langsung diminum seperti minum air.."Kata beliau sambil tersenyum. Saya jadi tahu mengapa takaran untuk minum anggur sangat sedikit. Hal terpenting dari minum anggur adalah "merasakan" rasa anggur tersebut sehingga tidak perlu takaran besar untuk minum secangkir anggur. Anggur ini untuk dirasakan, dinikmati keindahan rasanya, kelembutan teksturnya, Bukan untuk diminum banyak-banyak dan menjadikan kita mabuk.

Saya jadi berpikir, mungkin jika anak-anak muda itu benar-benar menikmati "trend kopi", mereka akan minum kopi seperti cara minum anggur yang diajarkan chef William tadi, pelan-pelan dengan penuh kesadaran. Itulah yang dinamakan menikmati....




Wahyu Juniawan November 30, 2022
Read more ...

"Apa yang dilakukan untuk mencapai realisasi sunyata atau realitas sejati yang sebenar-benarnya?" Tanya Seruni kepada Danang Aji yang sedang duduk di teras, sembari menyeruput kopi panas buatan Seruni.


"Mempertajam rasa...."Kata Danang aji.

"Rasa yang seperti apa?Aku belum paham..." Tanya Seruni penasaran.

"Salah kaprah yang terjadi di kalangan kita adalah menyamakan rasa dengan emosi. Rasa berbeda dengan emosi. Rasa itu merasakan realitas, tidak hanya dengan panca indera, namun kesatuan dirimu. Rasa itu sadar, sadar itu merasakan. Contoh ketika aku menyeruput kopi ini, aku merasakan rasa pahit di lidahku. Namun aku juga merasakan tekstur air, serbuk kopi, masuknya air ke tenggorokanku, sampai bagaimana air melalui ususku sehingga perutku menjadi hangat. Itu lah rasa...bukan senang, sedih, kecewa, dan lain-lain. Senang, sedih, kecewa dan lain-lain itu emosi, bukan rasa. Rasa itu sangat halus dan sulit dijelaskan, hanya bisa dirasakan..."Kata Danang Aji.

"Lalu mengapa rasa menjadi penting dan menjadi jalan menuju keheningan sejati?"Tanya Seruni.

"Manusia banyak yang lupa kepada rasa, karena sibuknya pikiran. Untuk merasakan rasa, manusia harus mengendapkan pikiran. Mengendapkan, bukan menghilangkan karena selama hidup, pikiran selalu ada. Ketika pikiranmu mengendap, kamu bisa merasakan halusnya rasa. Dari mulai gerak organ tubuhmu, dinginnya tanah yang kau pijak, hangatnya matahari pagi ini, atau halusnya angin yang menerpa tubuhmu. Namun jika rasa mu semakin tajam, kamu akan bisa merasakan gerak yang lebih halus, seperti detak jantungmu, kembang kempisnya paru parumu, gerak oksigen yang kau hirup, getaran sayap lebah di pohon itu, atau gerakan pohon yang seperti diam itu. Jika rasamu lebih tajam lagi, kamu akan bisa merasakan gerak molekul tubuhmu, hingga gerak energi yang tak terdeteksi oleh panca inderamu yang terbatas. Jika rasamu semakin peka, kamu akan merasakan inti dari alam semesta. Itulah mengapa guru-guru bijak Jawa jaman dahulu menekankan pentingnya mengasah rasa. Karena rasa adalah gerbang menuju realitas sejati yang tak terjamah panca indera akibat sibuknya pikiran, sehingga rasa menjadi tumpul...."Kata Danang Aji

"Kamu tidak akan paham kecuali melatih rasamu sendiri. Segala macam yoga, meditasi, dan ibadah sejatinya adalah melatih rasa...."





Wahyu Juniawan November 27, 2022
Read more ...
Mereka yang masih menyimpan dendam adalah mereka yang hidup di masa lalu. Dendam muncul karena sesuatu yang didapat tidak sesuai dengan keinginannya. Sebelum dendam muncul, terlebih dahulu muncul rasa kecewa. Lalu setelah itu muncul amarah, yang selanjutnya barulah muncul dendam. Emosi tidak selalu tunggal. Ia seperti petasan renteng, yang jika meledak satu, akan memicu ledakan yang lainnya.

Maka mengatasi dendam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam tradisi Jawa ada istilah ngoncek-i atau mengupas satu persatu. Mereka yang ilmunya telah tinggi, akan mengupas dan menganalisa satu persatu emosi yang muncul, mengapa muncul dan apa penyebabnya. Sama seperti anda mencabuti rumput liar, selama akarnya masih tertinggal, rumput itu akan terus tumbuh. Begitulah emosi. Emosi tidak tunggal, bisa jadi ada emosi lain yang menyebabkan satu emosi meledak.
Untuk membebaskan diri caranya adalah dengan mengupas satu persatu, dan menyadari siapa sebenarnya yang dirugikan atas sebuah peristiwa pahit yang menimpa kita. Apakah kita ataukah ego kita?

Emosi seperti awan mendung yang menutup cerahnya langit. Apakah langit menjadi hilang karena awan pekat?Tidak. Langit biru tetap ada, namun keberadaannya hanya tertutup awan gelap. Setiap emosi segera akan berlalu. Namun mengapa ada manusia yang terus menerus memelihara dendam?Karena ia selalu hidup di masa lalu di saat awan hitam menutupi langit. Padahal awan selalu akan berlalu dan langit menjadi cerah. Namun ia selalu menganggap awan itu tetap ada sehingga kebijaksanaan dan cinta kasihnya hilang tertutup awan emosi. Maka lawannya badai dendam hanya tiga : menerima apa adanya, sadar akan saat ini, dan mengupas satu persatu emosi yang menyebabkan dendam. Memelihara dendam sama dengan memelihara penyakit berbahaya dari kecil hingga membahayakan nyawa anda.


 

Wahyu Juniawan November 27, 2022
Read more ...

Sesi pengajaran malam itu diawali guru dengan pertanyaan kepada para siswa.

"Apa yang dimaksud kelahiran, kehidupan, dan kematian?Apakah kelahiran, kehidupan, dan kematian adalah peristiwa tunggal?"

Para siswa terdiam, tidak ada satupun yang berani menjawab pertanyaan paling dasar mengenai kehidupan tersebut.
Guru terdiam selama beberapa saat, memperhatikan para siswa yang terdiam, lalu tersenyum hangat.
"Banyak manusia yang menganggap kelahiran, kehidupan, dan kematian adalah peristiwa tunggal. Itulah yang membuat banyak manusia mengalami ketakutan yang tak beralasan. Tahukah kalian jika yang kita sebut kehidupan ini adalah proses menuju kematian? Kematian bukanlah terjadi dalam satu waktu, namun sebuah proses panjang. Sejak manusia dilahirkan, sejak itulah proses kematian mulai berlangsung. Sama seperti kehidupan yang berlangsung selama beberapa waktu bahkan tahun, maka kehidupan itu sendiri adalah proses menuju kematian. Sementara sama dengan kehidupan dan kematian, kelahiran juga sebuah proses yang tidak tunggal. Proses yang bernama kelahiran berlangsung sejak pembuahan di dalam rahim ibu, dan berlangsung kurang lebih sembilan bulan lamanya. Kelahiran bukan hanya saat tubuh seorang bayi keluar dari perut ibu saja.."

Guru melihat Danang Aji dan kawan-kawan manggut-manggut mencoba mencerna kata demi kata dari guru yang harus dipahami pelan-pelan.

"Kematian hanyalah konsep buatan manusia saja. Bagi manusia yang hidup di alam kita sekarang, kematian berarti pergi..lenyap...mati. Namun bagi manusia yang mati, kematian bukanlah kepergian, namun kelahiran di alam yang berbeda. Mereka yang mati juga sedang terlahir kembali. Maka jika disederhanakan, tidak ada kelahiran dan kematian. Semua adalah kehidupan. Lihatlah ulat-ulat yang menjadi menjadi kepompong untuk kemudian berubah menjadi kupu-kupu. Apakah ulat bisa disebut mati?Apakah kepompong bisa disebut mati?Apakah kupu-kupu bisa disebut lahir?Ulat adalah kepompong, sekaligus kupu-kupu. Ulat hanya berubah bentuk saja.
Kalian lihat bunga Kenikir di pinggir sawah itu? Dia tumbuh dari biji yang jatuh dari bunga induknya. Lalu ia tumbuh, berkembang, dan layu. Namun sebelum layu, ia merontokkan benih-benih dari bunganya ke tanah, dan menjadi bibit-bibit kenikir baru yang segera tumbuh..
Itulah kehidupan...Tidak pernah terputus oleh kematian.."



Wahyu Juniawan November 27, 2022
Read more ...

 Di saat banyak orang bernafsu mengubah orang lain agar sama dengan dirinya dan agamanya, masyarakat Jawa justru berpedoman pada konsep "KULO" : aKU sing oLO, atau saya yang lebih buruk dibanding orang lain. Spriritualitas Jawa mengajarkan untuk mengubah diri sendiri dulu sebelum membuat orang lain berubah. Membuat orang lain berubah pun berbeda caranya, tidak dengan membujuk untuk mengikuti agama atau ajarannya dengan "mengiming-imingi surga dan menakut-nakuti neraka", 

Spiritualitas Jawa tidak memaksa seseorang untuk mengikuti jalan hidup seseorang (termasuk otomatis lahir mengikuti agama orang tuanya), melainkan memberikan contoh kepada orang lain dengan perilaku baik..Sekali lagi karena Tuhan dalam spiritualitas Jawa sangat personal, aku dan Gusti, yakni manunggaling Kawula Gusti. Masing-masing manusia memiliki hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Sehingga tidak ada nabi atau wali dalam tradisi spiritualitas Jawa, karena "pertemuan"  manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara manusia lain, namun bisa ditempuh semua manusia dengan cara lelaku. Lelaku adalah sesuatu yang dilakukan dengan tujuan mengasah batin dari segala macam emosi yang menghalangi "pertemuan" setiap manusia dengan Tuhannya.



Wahyu Juniawan November 27, 2022
Read more ...

Bagi orang-orang yang belum memahami bagaimana sistem kehidupan berjalan serta bagaimana realitas terbentuk, diam dan tidak berbuat sesuatu disamakan dengan malas, atau bisa juga dikatakan tidak memiliki visi kehidupan. Manusia manusia ini dianggap tidak produktif dan perannya sangat minim dalam komunitas. Manusia yang tidak memiliki keinginan kerap juga disebut sebagai manusia yang tidak memiliki semangat hidup. Tidak ada pencapaian yang bisa dibanggakan di media sosial maupun forum forum berkumpul seperti reuni sekolah, dan lain-lain. Hidupnya dianggap membosankan. Tidak ada pencapaian kesuksesan dalam hal materi dan karier. Tidak ada foto-foto liburan di luar negeri atau tempat-tempat eksotik yang bisa dipajang di media sosial.

Namun faktanya justru berkebalikan. Bagi mereka yang telah memahami kinerja sistem kehidupan, justru sedang melakukan sebaliknya. Mereka menjalani kehidupan dengan cara alami, sesuai dengan hukum alam, tidak perlu dikejar, tidak perlu diperjuangkan. Sesuatu yang dikejar dan diperjuangkan tidak akan memiliki ujung. Akhirnya berakhir pada penderitaan. Silakan diperhatikan, tingkat stress, psikosomatis, dan depresi meningkat tajam di jaman ketika komunitas masyarakat manusia mengajarkan, "Hidup harus diperjuangkan...". Apanya yang diperjuangkan?. "Mengejar mimpi"?Mimpi seperti apa yang dikejar?

Rata-rata manusia ingin bekerja mengubah kehidupan yang sekarang karena merasa tidak puas, merasa kurang, dan menginginkan lebih. Ada juga yang bekerja karena kekhawatiran terhadap masa depan yang tidak pasti. Namun bagi orang-orang yang mengerti, tidak ada satupun tujuan yang harus dikejar. Yang dilakukan adalah MEMBENTUK REALITAS. Mimpi adalah bayangan atau visualisasi tanpa "rasa", sementara realitas adalah kenyataan yang kita jalani saat ini. Bagi mereka yang paham, realitas tidak dibentuk dengan bekerja, namun dengan cara " menjalani" dan "merasakan". Lho apa bedanya?

Bedanya, bekerja adalah usaha yang dilakukan dengan kemauan sebagai daya dorong untuk mewujudkan keinginan atau tujuan. Ini berbeda dengan konsep kinerja alam semesta sendiri. Apakah kita melihat alam semesta bekerja?Apakah matahari bekerja untuk bergerak dari timur mencapai barat? Apakah air bekerja untuk mencapai lautan? Semuanya berjalan sesuai kodrat atau takdir yang harus dijalaninya. Semua gerakan di alam semesta ada karena hukum-hukum alam yang memungkinkan itu terjadi. Air bisa mengalir mencapai lautan karena adanya kemiringan tanah dan gaya gravitasi bumi. Matahari terlihat bergerak, namun sebenarnya bumilah yang berotasi. Bumi berotasi karena adanya gerakan inti bumi. Tidak ada satupun kerja yang dilakukan. Kerja yang didorong oleh sesuatu untuk mengubah sesuatu. Namun bagi alam semesta, semuanya mengalir begitu saja berdasarkan hukumnya.

Bagi mereka yang paham, masa depan adalah masa sekarang yang belum datang. Masa depan hanyalah perubahan, dimana saat ini akan berubah kemana atau menjadi seperti apa? Saya mencoba membahasakan dengan bahasa sederhana mengenai hal ini. Ibaratkan hidup saat ini adalah sebuah adegan dalam sebuah pertunjukan drama di panggung. Setiap orang menjalani perannya sesuai skenario. Tidak ada yang berusaha berakting di luar jalur skenario. Dalam adegan ini panggung tidak hanya diisi oleh para pemeran, namun juga latar belakang yang membentuk situasi dimana adegan itu berlangsung. Contoh jika adegan ada di dalam rumah, maka ada pemeran dan latar belakang yang membentuk situasi di dalam rumah seperti tembok, jendela, perabot, pintu, dan lain-lain. Dan ketika adegan harus berganti menjadi sebuah adegan di dalam hutan, apa yang terjadi?Para crew akan membongkar set atau latar belakang dari bentuk rumah menjadi hutan. Akan banyak pohon, satwa dan lain lain. Hal ini berlaku pula bagi kehidupan. Anda adalah pemeran yang ada dalam sebuah adegan yang terjadi saat ini, sekaligus juga sebagai penulis skenario. Ketika adegan selesai dan berganti adegan lain, anda harus membongkar set dan membangun set baru sesuai adegan yang akan dimainkan sesuai skenario yang anda tulis.

Namun dalam kehidupan, tidak ada crew yang akan membongkar dan membangun set selain anda sendiri. Crew anda adalah pikiran, energi, dan rasa yang jika digabung menjadi daya cipta. Untuk mengarahkan masa depan anda sesuai skenario yang anda tulis, yang harus dilakukan bukan bekerja, namun menciptakan set atau latar belakang sedetail detailnya, senyata-nyatanya dengan pikiran, energi, dan rasa anda. Lalu setelah itu alam semesta akan memberikan pilihan yang harus anda pilih. Jika pikiran, energi, dan rasa anda telah benar, sebenarnya pilihan itu hanyalah jalan berbeda yang menuju ke tujuan sama. Bisa jadi satunya mulus satunya terjal  Namun tujuan bisa bergeser saat di tengah jalan nanti anda tidak konsisten dalam menerapkan pikiran, energi, dan rasa. Jadi di jalan yang anda pilih tadi anda harus konsisten. Semua hanya anda jalani. Ketika anda harus bekerja, itu adalah sarana untuk menjalani proses menuju tujuan anda. Bekerja di sini berbeda dengan bekerja di awal. Bekerja di sini adalah proses menjalani tanpa ada dorongan keinginan untuk mengubah sesuatu, sementara bekerja di awal tulisan tadi adalah usaha untuk bergerak dengan didorong oleh kemauan atau keinginan untuk mengubah, akibat ketidakpuasan atau kekhawatiran.

Apakah mungkin kita menuliskan skenario masa depan kita sendiri?Bukankah itu takdir?Tentu saja mungkin. Anda harus memahami bedanya takdir dengan nasib. Takdir kita adalah menjalani kehidupan, lahir, mati, dan seterusnya. Namun Sang Sumber Kehidupan memberikan kita wewenang untuk menentukan arah masa depan kehidupan yang kita jalani. Seperti juga air, takdirnya mengalir ke lautan. Namun nasibnya berbeda dalam perjalanan menuju lautan. Ada yang mengalir di sungai, danau, sumur dan kemudian kita minum. Namun tujuannya sama, semua nantinya akan tetap mengalir ke lautan.

Demikian pula hidup kita. Mati adalah takdir, namun sebelum mati, anda diperkenankan mengatur kehidupan anda sendiri termasuk masa depan. Namun uniknya masa depan yang anda inginkan hanya terwujud dengan cara mengalir, dan menjalani kehidupan apa adanya. Justru dengan mengalir itulah anda akan memiliki energi luar biasa untuk menggerakkan daya cipta akan masa depan. Mengapa?Karena setiap penolakan, penyangkalan, dan pemberontakan terhadap apa yang kita jalani akan memakan energi yang luar biasa besar, sehingga energi yang tersisa untuk daya cipta menjadi sangat sedikit. Bukankah air yang mengalir pada alur sungai tidak membutuhkan banyak energi dibandingkan ketika air tersebut ingin membelokkan alur sungai dan membentuk alur baru? Maka simpan energi anda untuk daya cipta, alih-alih bekerja keras karena didorong oleh emosi dan rasa tidak puas serta perlawanan terhadap kondisi hidup anda sekarang. Maka itulah mereka yang bersyukur atas apa yang dijalani dan dimiliki sekarang, memiliki potensi jauh lebih besar untuk mewujudkan sesuatu, dibandingkan mereka yang mati-matian bekerja karena ketidakpuasan atas kehidupan.

"Akan Aku tambahkan nikmat bagi mereka yang bersyukur...."





Wahyu Juniawan November 24, 2022
Read more ...

 Ketika hujan lebat di malam hari seperti ini, saya selalu ingat doa guru saya yang selalu dilantunkan saat hujan lebat turun di malam hari.

Terima kasih atas berkah hujan-Mu yang menghidupi...

Semoga mahluk-mahluk yang tidak memiliki atap untuk berteduh, diberi kehangatan hati dalam cuaca yang dingin...

Semoga semua yang harus tetap bekerja menghidupi keluarga, diberikan kelapangan rejeki dan cinta kasih..

Semoga semua yang sakit, diberikan kesembuhan..

Semoga semua yang mengalami kesedihan dan kehilangan dapat diberikan kelapangan batin untuk menerima segala macam perubahan...

Semoga mereka yang memiliki niat jahat, diberikan cahaya, seperti kilat yang menerangi kegelapan...

Semoga mereka yang harus meninggalkan raga dan kehidupan dunia, diberikan kedamaian dan kebahagiaan hakiki...

Semoga bayi-bayi yang lahir ke bumi, menjadi benih kehidupan yang menghidupi dan mengayomi..

Semoga semua mahluk berbahagia tanpa kecuali....



Wahyu Juniawan November 23, 2022
Read more ...

Berdamai dengan diri sendiri tidak berarti kita harus 'memaksa' bahagia dan bersyukur dengan apa yang kita miliki dan kerjakan. Banyak orang yang berkata, "kita harus bersyukur atas kehidupan kita", "kita harus mengikuti arus kehidupan, tidak boleh menolak apapun yang diberikan alam kepada kita..dan seterusnya..."

Kita tidak bisa memaksakan diri harus mencintai sesuatu. Tidak bisa dipungkiri, dualitas menjadi bagian dari kehidupan. Suka tidak suka adalah bagian dari kesempurnaan hidup. Jika kita hanya memilih suka saja agar hidup menjadi bahagia, itu berarti kita belum memahami makna kebijaksanaan. Bukankah titik tertinggi dari proses belajar adalah memahami kebijaksanaan? Namun banyak orang yang salah kaprah menganggap hidup yang bahagia adalah harus selalu suka dengan sesuatu.  Kita tidak boleh marah, tidak boleh jengkel, tidak boleh tidak menyukai sesuatu, agar hidup menjadi tenang dan bahagia.

Justru berdamai dengan diri sendiri adalah menyadari akan segala sesuatu sebagai bagian dari kehidupan. Marah adalah respon tubuh yang diberikan Sang Sumber yang menjadi bagian dari hidup kita. Rasa suka tidak suka adalah hal yang alami. Sebagai manusia kita memiliki hal-hal yang kita sukai dan tidak kita sukai. Sebagai manusia secara alami kita memiliki emosi marah, jengkel, tidak nyaman, dan lain-lain terhadap sesuatu.

Saya sebenarnya tidak pernah menyukai dunia jurnalistik.  Saya tidak pernah nyaman dengan pekerjaan saya, sehingga saya selalu marah-marah ketika harus bekerja. Saya mencoba segala cara untuk menyukai pekerjaan saya, namun dari sisi manapun saya benar-benar tidak menyukai pekerjaan saya. Seorang teman menyarankan saya untuk resign saja. Namun karena waktu itu saya masih memiliki cicilan KPR, saya juga tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan saya. Bekerja ngomel, tapi resign tidak berani. Sungguh sangat semena-mena.

Suatu hari seorang teman yang lain menasehati saya, agar saya berdamai dengan diri sendiri. Caranya : mencoba ikhlas, menerima apapun yang kita kerjakan. Kan semua adalah pemberian Tuhan...Apapun itu baik bagi kita dan harus kita terima dengan lapang dada...Dari situ saya akan menemukan kebahagiaan.

Namun sekali lagi dari sisi manapun saya tetap tidak menyukai pekerjaan saya. Nasehat teman saya untuk ikhlas dan menerima, tidak berfungsi sama sekali!! Mau dikatakan pemberian Tuhan kek, mau dikatakan semua adalah takdir kek, harus ikhlas, harus menerima, dan lain-lain hanyalah omong kosong bagi saya. Emang ikhlas dan menerima itu mudah?Coba bayangkan posisinya dia ada di posisi saya...

Namun pandangan itu kemudian berubah ketika Suatu hari saya ngobrol dengan tetangga saya, seorang tukang becak yang menjadi teman poskamling saya. Ia berkata, "siapa yang mau jadi tukang becak mas? Mau dibilang dari sisi manapun, ya nggak ada yang mau. Orang bilang harus ikhlas, harus nerimo...mbel gedhes!! Coba orang itu suruh tukeran profesi sama saya jadi tukang becak!"

"Namun saya menemukan cara mas, kenapa sampai sekarang saya masih mengayuh becak walau saya tidak pernah suka menjadi tukang becak. Inilah yang disebut cara bijaksana. Bukan dengan cara memaksakan kita harus bahagia, harus nerima, harus menyukai sesuatu, harus ikhlas...."

"Carane pripun dhe?"Tanya saya penasaran

"Sadar mas...eling....biarkan rasa tidak suka itu datang. Jangan ditolak dan jangan diharuskan menjadi suka. Biarkan dia hadir, datang, berwujud, namun kita hanya mengawasi...waspada. Njenengan cukup tahu dan mengenali kalau itu rasa tidak suka. Tidak usah ditolak, dan tidak usah diikuti. Cukup diperhatikan dan diawasi. Karena rasa tidak suka itu sebenarnya sama manusiawinya dengan rasa suka. Keduanya perwujudan Gusti Pangeran (Tuhan). Suka dan tidak suka tidak bisa dipisah. Keduanya membentuk kesempurnaan. Jadi tidak masalah njenengan suka atau tidak suka. Keduanya tidak salah dan tidak benar. Sangat manusiawi. Memaksa harus suka, memaksa harus bahagia justru yang tidak manusiawi. Tidak benar menurut saya. Saat njenengan mempersilakan rasa suka atau tidak suka datang dan pergi, di situlah njenengan akan memahami bagaimana menjadi orang yang bijaksana...."Kata tetangga saya.

Setelah itu saya paham, alam semesta ini begitu mengalir. Suka dan tidak suka menjadi bagian dari kesempurnaan. Berdamai dengan diri sendiri, atau berdamai dengan kehidupan bukan lantas memaksakan kita harus suka, kita harus senang, atau kita harus bahagia. Menjadi bijaksana juga bukan dengan cara memandang "semuanya harus baik". Ketika kita hanya menyadari rasa suka atau tidak suka, justru di situlah kunci dari kebijaksanaan. Suka dan tidak suka sendiri tidak tunggal. Ia adalah rasa yang berlapis-lapis. Apa yang saya alami adalah tidak suka dengan pekerjaan saya. Hal itu diperparah dengan rasa tidak suka terhadap ketidaksukaan saya terhadap pekerjaan saya. Ketika saya hanya mengamati rasa tidak suka saya, maka lapisan pertama dari rasa tidak suka itu pun hilang.  Tinggal rasa tidak suka terhadap pekerjaan saya. Ketika saya lanjut mengamati, membiarkan semua hadir dan tidak menolaknya, menjadi wadah yang netral, maka rasa tidak suka itupun sebenarnya tidak solid dan tidak tunggal. Ternyata ada bagian-bagian dari pekerjaan saya yang sebenarnya bisa saya nikmati, contohnya bagaimana hobi menulis saya tersalurkan, dan bagaimana saya belajar dari kehidupan orang lain atau beragam peristiwa yang saya liput.

Akhirnya setelah terus menerus berlatih untuk membiarkan rasa tidak suka itu hadir apa adanya, lama-lama rasa tidak suka itupun tidak lagi mendominasi kehidupan dan pekerjaan saya. Namun apakah rasa tidak suka itu hilang? TIDAK! Namun saya kemudian menjadikan rasa tidak suka saya sebagai teman dan sahabat saya. Saya tidak menolak kehadirannya, dan justru berteman dengan rasa tidak suka tersebut. Saya baru tahu, inilah yang dinamakan berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan kehidupan, karena rasa tidak suka adalah bagian dari diri kita. Bukan memaksakan harus suka, harus bahagia, harus ikhlas. Dan akhirnya hal itu membuat saya tidak lagi marah-marah ketika melakukan pekerjaan yang saya tidak suka, karena rasa tidak suka telah menjadi sahabat saya. Ia hanya datang dan pergi, seperti seorang sahabat yang berkunjung ke rumah saya dan kemudian pergi lagi. Hal itu terus berlangsung hingga tahun ini tanpa terasa, saya telah 22 tahun bekerja di dunia yang tidak saya sukai.....


 

Wahyu Juniawan November 23, 2022
Read more ...

 

Banyak orang bisa membeli rumah besar dengan tempat tidur mewah, namun tidak bisa tidur nyenyak di atasnya. Ironi ini banyak kita jumpai di balik dinding rumah-rumah mewah dan  apartemen-apartemen menjulang tinggi di langit kota-kota besar. Tidur nyenyak menjadi permasalahan pelik bagi sebagian manusia.

Suatu hari, seorang pejabat bercerita, ia baru saja pulang berobat dari Singapura untuk mengobati insomnia parah yang dideritanya. Dengan segala macam peralatan berteknologi canggih, dokter-dokter di sana berusaha mengobati masalah tidak bisa tidur pejabat tersebut. Setelah pengobatan itupun, si pejabat harus menjalani beberapa kali check up, yang artinya ia harus bolak balik Jakarta-Singapura, hanya untuk bisa tidur!

Namun di lain hari, ketika melintasi sebuah jalan protokol di Jakarta yang macet. Perhatian saya tertuju pada seorang pemulung yang tidur nyenyak di kolong jembatan tol yang berdiri kokoh di samping mobil saya. Dengan hanya beralaskan koran, pemulung itu benar-benar tidur nyenyak berbantal kardus-kardus bekas yang sepertinya baru saja ia kumpulkan. Gerobaknya yang berisi tumpukan kardus-kardus bekas, ia parkir begitu saja di pinggir jalan.

Permasalahannya ternyata bukan terletak pada kemewahan rumah atau kasurnya. Nyatanya insomnia tidak hanya terjadi di kalangan orang berduit saja, namun juga kalangan ekonomi bawah. Kebanyakan pikiran, kata orang-orang. Namun kesimpulan yang menyamaratakan ini lantas menjadi pembenaran agar jangan sampai banyak pikiran, namun tidak ada cara dan solusi bagaimana caranya agar tidak banyak pikiran?

Hanya ada dua jenis manusia yang tidak memiliki pikiran : zombi dan manusia mati. Selebihnya jika manusia masih bernyawa, pikiran akan selalu ada, karena pikiran adalah perangkat tubuh untuk hidup. Pikiran adalah hasil kinerja otak yang menganalisa semua data yang masuk dari panca indera kita. Data itu digunakan untuk memberikan signal kepada tubuh kita, tentang kejadian yang sedang dijalani tubuh kita. Hasilnya adalah antisipasi tindakan apa yang akan dilakukan tubuh untuk bertahan hidup. Bertahan hidup adalah insting purba spesies manusia yang masih eksis hingga sekarang. 



Wahyu Juniawan November 22, 2022
Read more ...

"Seruni, jawab pertanyaanku dengan jujur, siapa orang yang paling penting buatmu?" Tanya Danang Aji.

"Ya kamu to mas...." Jawab Seruni manja.

"Hmmmmm...."gumam Danang Aji sambil tersenyum.

"Kok ekspresinya gitu mas?Emang buatmu siapa orang yang paling penting?Pasti bukan aku..."Kata Seruni dengan cemberut.

Sebelum Seruni tambah jengkel, Danang Aji buru-buru menjelaskan apa maksud responnya kepada Seruni.

"Orang yang paling penting buatku adalah orang yang sedang bersamaku saat ini...."

Seruni tersenyum senang.

"Karena saat ini kamu yang bersamaku, maka kamu adalah orang yang paling penting buatku. Tapi nanti saat aku bertemu orang lain, maka orang lain yang di hadapanku saat itulah orang yang paling penting buatku..." Kata Danang Aji.

"Lho kok gitu....berarti kamu tidak konsisten dong?" Sahut Seruni kembali jengkel.

"Ini bukan masalah konsisten atau tidak konsisten. Bukankah waktu yang kita miliki hanya saat ini saja?Jika saat ini, kamu adalah orang satu-satunya yang ada di hadapanku, maka kamu adalah orang paling penting buatku. Karena kamu orang paling penting, maka aku akan memperlakukanmu seperti orang penting. Ketika nanti dihadapanku ada orang lain, maka orang lain itulah yang menjadi orang paling penting buatku dan akan aku perlakukan mereka laiknya orang penting. Tidak hanya manusia, apapun baik hewan, tumbuhan atau benda yang sedang bersama kita saat ini adalah yang paling penting, sehingga aku juga akan memperlakukan mereka seperti hal yang paling penting. Lihat Sadana si penjual kain, ketika ia berjualan di pasar. Ia selalu memperlakukan orang yang ada dihadapannya sebagai orang yang paling penting. Maka ketika orang itu adalah pembeli, ia akan memperlakukan pembeli itu sebagai orang penting. Itulah mengapa dagangannya selalu laku. Namun ketika di hadapannya ada seorang pengemis, maka ia juga memperlakukan pengemis itu sebagai orang penting..."

Seruni manggut-manggut berusaha untuk memahami apa yang dikatakan Danang Aji.

"Coba kau lihat sekarang Seruni..Banyak orang yang tidak menganggap penting apa atau siapa yang ada di hadapannya. Ketika kamu berbicara dengan temanmu, reaksi rata-rata yang kamu dapatkan adalah temanmu justru sibuk bermain handphone. Banyak orang yang ketika diajak bicara, justru sibuk melakukan hal-hal lainnya. Ada pula yang pura pura mendengarkan kita bicara, namun batinnya sebenarnya tidak menganggap apa yang kau bicarakan sebagai hal yang penting buatnya. Banyak dari kita yang tidak menganggap penting siapa yang ada di hadapan kita saat ini. Ia malah menganggap lebih penting orang-orang yang tidak ada dihadapannya saat ini. Padahal hidup yang kita miliki hanya saat ini. Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita dengan mereka yang saat ini ada di hadapan kita.."Kata Danang Aji.

"Ketika kamu selalu menganggap siapapun atau apapun yang ada dihadapanmu saat ini sebagai orang penting, maka dimanapun dan kapanpun kamu akan menghargai semuanya. Dalam tradisi Jepang hal itu disebut Ichigo Ichie. Mereka yang masih memegang tradisi itu, selalu menyeduhkan teh hangat kepada siapapun yang ada di hadapannya, karena menganggap setiap momen saat ini selalu harus dirayakan dengan minum teh. Mengapa?Karena mereka menganggap setiap momen hanya terjadi sekali saja, tidak akan berulang. Semua akan berubah. Bisa jadi itu jadi momen terakhir pertemuan dengan orang di hadapannya. Maka ketika kamu menghargai segala sesuatu yang terjadi saat ini, dan menganggap penting segala sesuatu yang ada di hadapanmu, itu berarti kamu sedang merayakan momen saat ini dimana kamu masih hidup dan masih bisa bertemu dengan orang-orang yang ada di hadapanmu...." Lanjut Danang Aji.



Wahyu Juniawan November 19, 2022
Read more ...

"Apa yang dilakukan untuk mencapai realisasi sunyata atau realitas sejati yang sebenar-benarnya?" Tanya Seruni kepada Danang Aji yang sedang duduk di teras, sembari menyeruput kopi panas buatan Seruni.

"Mempertajam rasa...."Kata Danang aji.

"Rasa yang seperti apa?Aku belum paham..." Tanya Seruni penasaran.

"Salah kaprah yang terjadi di kalangan kita adalah menyamakan rasa dengan emosi. Rasa berbeda dengan emosi. Rasa itu merasakan realitas, tidak hanya dengan panca indera, namun kesatuan dirimu. Rasa itu sadar, sadar itu merasakan. Contoh ketika aku menyeruput kopi ini, aku merasakan rasa pahit di lidahku. Namun aku juga merasakan tekstur air, serbuk kopi, masuknya air ke tenggorokanku, sampai bagaimana air melalui ususku sehingga perutku menjadi hangat. Itu lah rasa...bukan senang, sedih, kecewa, dan lain-lain. Senang, sedih, kecewa dan lain-lain itu emosi, bukan rasa. Rasa itu sangat halus dan sulit dijelaskan, hanya bisa dirasakan..."Kata Danang Aji.

"Lalu mengapa rasa menjadi penting dan menjadi jalan menuju keheningan sejati?"Tanya Seruni.

"Manusia banyak yang lupa kepada rasa, karena sibuknya pikiran. Untuk merasakan rasa, manusia harus mengendapkan pikiran. Mengendapkan, bukan menghilangkan karena selama hidup, pikiran selalu ada. Ketika pikiranmu mengendap, kamu bisa merasakan halusnya rasa. Dari mulai gerak organ tubuhmu, dinginnya tanah yang kau pijak, hangatnya matahari pagi ini, atau halusnya angin yang menerpa tubuhmu. Namun jika rasa mu semakin tajam, kamu akan bisa merasakan gerak yang lebih halus, seperti detak jantungmu, kembang kempisnya paru parumu, gerak oksigen yang kau hirup, getaran sayap lebah di pohon itu, atau gerakan pohon yang seperti diam itu. Jika rasamu lebih tajam lagi, kamu akan bisa merasakan gerak molekul tubuhmu, hingga gerak energi yang tak terdeteksi oleh panca inderamu yang terbatas. Jika rasamu semakin peka, kamu akan merasakan inti dari alam semesta. Itulah mengapa guru-guru bijak Jawa jaman dahulu menekankan pentingnya mengasah rasa. Karena rasa adalah gerbang menuju realitas sejati yang tak terjamah panca indera akibat sibuknya pikiran, sehingga rasa menjadi tumpul...."Kata Danang Aji

"Kamu tidak akan paham kecuali melatih rasamu sendiri. Segala macam yoga, meditasi, dan ibadah sejatinya adalah melatih rasa...."



Wahyu Juniawan November 18, 2022
Read more ...

Tidak ada satupun yang perlu dimaafkan dari kesalahan-kesalahan yang kau buat..

Bagi-Ku, kalian adalah anak-anak-Ku yang sedang berlatih untuk berjalan. Pelan-pelan melangkahkan kaki, lalu terjatuh, dan bangkit kembali hingga kalian bisa berjalan dengan baik...

Begitulah Aku melihat kalian. Apakah seorang anak menyesal belajar berjalan hanya karena ia terjatuh?Tidak.

Ia akan terus bangkit dan mencobanya lagi.

Lalu siapa yang perlu dimaafkan ketika kalian terjatuh, saat sedang belajar berjalan?Tidak ada....

Apakah ketika aku tidak mengulurkan tangan-Ku untuk membantumu berdiri, berarti aku tidak mencintaimu?Tidak.

Jika Aku anggap kamu masih bisa bangkit, aku akan membiarkanmu bangkit sendiri, agar kamu bisa mengerti dan belajar. Namun ketika Aku melihatmu kesulitan untuk bangkit, Aku pasti akan mengulurkan tangan-Ku dan membantumu bangkit.

Ketika kamu marah kepada-Ku, oleh sebab kamu menghakimi-Ku yang kau anggap meninggalkanmu, aku tetap mamandangmu dengan cinta.

Ketahuilah, aku tidak pernah meninggalkanmu.

Aku selalu ada dan memperhatikanmu belajar berjalan. Kemarahanmu kepada-Ku tidak akan melunturkan cinta-Ku kepadamu..

Semua adalah pilihanmu, apakah akan marah dan membenci-Ku atau mencintai-Ku. Apapun itu, aku tetap mencintaimu..

Lihat anak-Ku...hidup seperti taman bermain untukmu..

Tempat kalian bersenang-senang dan bermain dengan bahagia.

Di sinilah rumahmu, tempat kalian akan selalu Aku peluk dengan cinta...Tidak peduli apakah kamu pulang dengan wajah marah dan pakaian kotor, atau dengan wajah bahagia, semua sama saja bagi-Ku. Aku tidak akan memarahimu hanya karena kamu pulang dari bermain dengan pakaian kotor dan amarah.

Ketahuilah anak-Ku, kesalahan bukan aib bagimu. Semua adalah proses untukmu belajar memahami sejatinya kehidupan.

Jadi, saat ini dan di sinilah rumahmu...

Maka belajarlah dengan baik, agar kau segera bisa berjalan.

Namun Aku juga tidak ingin terburu-buru untuk memaksamu bisa berjalan. Aku akan selalu bersabar menanti waktu itu tiba, ketika kalian bisa berjalan dengan baik...

Alam semesta ini seperti rumah yang memiliki kamar-kamar. Saat kamu bermain di halaman belakang, aku sedang melihatmu dari jendela kamar dengan segala cinta yang tak akan kau pahami, kecuali kalian menjadi Aku..

Kamu tidak bisa melihat-Ku, namun Aku selalu bisa melihatmu..

Kamu tidak pernah kemana-mana anak-Ku...

Kamu selalu ada di rumah..

Ketika senja mulai tiba, dan waktu bermainmu telah selesai, Aku akan memanggilmu masuk ke rumah, memandikanmu yang penuh kotoran, dan menyambutmu dengan makanan hangat yang kau sukai.

Dan ketika malam semakin larut, Aku akan memelukmu hingga kau tertidur pulas setelah seharian lelah bermain..

Tidurlah dengan bahagia, karena besok kau akan kembali bermain dan memainkan permainan yang berbeda...




Wahyu Juniawan November 15, 2022
Read more ...

Mental block saya ibaratkan sebuah jangkar yang membuat kapal tidak bisa melaju. Atau rantai besi yang menyandera langkah anda untuk maju ke depan. Sebagian besar manusia tidak menyadari dirinya memiliki mental block. Padahal ia merasa dirinya baik baik saja. Dalam teknik Law of Attraction, mental block ini menghalangi kinerja energi alam semesta untuk mewujudkan visualisasi anda. 

Kemarin seorang teman, membuat sebuah permainan sederhana. Saya diminta menulis apa saja ketakutan saya, atau kekhawatiran saya saat ini di atas selembar kertas putih. Dia meminta saya menuliskannya dengan pensil atau pulpen, sembari menyadari rasa takut dan khawatir yang saya punyai (tidak boleh diketik). Setelah saya menulis sekitar tiga ketakutan yang saya rasakan saat ini, teman saya meminta saya menyelidiki penyebab ketakutan pertama. Setelah diketahui apa sebabnya, saya diminta menyelidiki sebab dari sebab ketakutan itu apa. Dan terus saya lakukan dengan cara bertanya "apa sebabnya?" ke setiap sebab yang saya tulis. Saya baru boleh berhenti ketika tidak ada lagi jawaban dari pertanyaan "apa sebabnya?". 

Ketika akhirnya saya selesai, dan tidak ada lagi jawaban dari " apa sebabnya?", saya terkejut karena apa yang saya selidiki dan tulis, ternyata membentuk cabang cabang berbentuk seperti sel kanker ganas. Dan saya bergidik ngeri karena hanya berasal dari satu kekhawatiran saja, bentuknya sudah  mengerikan seperti sel kanker ganas yang berakar sangat panjang dan tertanam sangat dalam di dalam memori saya, dan berlangsung selama belasan tahun! Itu padahal baru berasal dari satu ketakutan atau kekhawatiran. Dan di kertas itu saya menulis ada tiga ketakutan!Bisa dibayangkan seperti apa mental block yang mengakar dalam pikiran saya yang selama ini tidak saya sadari!

Lalu kalau sudah dipetakan, apalagi?

Dengan teknik meditasi kesadaran mengamati, yang pernah saya tulis di beberapa postingan lalu, maka amati kekhawatiran dan sebab sebabnya, yang anda sudah tulis tadi. Amati seperti anda mengamati sebuah sungai dari puncak bukit (bukan dari dalam sungai). Ibaratkan satu persatu sebab tersebut sebagai sebuah lampu jalan yang berjajar dan menyala. Lalu sadari satu persatu, dan matikan lampu tersebut satu persatu berurutan, dari sebab terdalam hingga ketakutan atau kekhawatiran anda yang pertama anda tulis. Matikan semua lampu, sampai situasi gelap total karena semua lampu sudah padam. 

Setelah semua padam dan gelap gulita, lalu mulai amati mimpi dan visualisasikan kehidupan anda di masa depan. Ibaratkan mimpi atau visualisasi itu sebagai lampu di seberang sisi jalan dari lampu yang anda matikan tadi. Nyalakan satu persatu lampunya sembari menyadari setiap visualisasi anda.Jangan lupa nyalakan pula pikiran pikiran positif, dan rasakan ketika apa yang anda visualisasikan itu terwujud. Terangkan cahayanya, hingga menerangi jalanan di samping lampu itu berdiri. Lakukan hal ini berulang ulang senyaman anda. 

Sekarang anda sudah memetakan mental block anda dan menyadarinya, serta berusaha memadamkannya..

Ingat mental block adalah bagian dari diri anda yang dibentuk dari pengalaman hidup anda, dan penanaman ajaran atau pendidikan oleh orang tua yang sangat mempengaruhi pola pandang anda terhadap diri anda. Contoh, ketika saya kecil, hal paling sering diperlihatkan orang tua saya, adalah jika kami merupakan keluarga pas pasan yang memiliki banyak hutang. Hal ini yang kemudian membentuk kepercayaan dalam diri saya, bahwa saya adalah orang yang pas pas an...Bukan berasal dari keluarga kaya yang berlebih. Saya juga menganggap, kekayaan sebagai sebuah balas dendam atas kondisi masa kecil saya, bukan sebuah berkah yang membuat saya bisa lebih banyak membantu mahluk mahluk dan manusia lain yang membutuhkan. Hal itulah yang menciptakan mental block bagi saya sehingga saya tidak percaya bisa sukses, kaya, dan memiliki banyak uang. Ketika mental block itu perlahan hilang, maka anda akan memiliki sebuah kehidupan baru yang lepas dari mental block dan kenangan akan masa lalu yang menjadi rantai besi bagi anda untuk melangkah maju.



Wahyu Juniawan November 15, 2022
Read more ...

Sore itu jelang matahari terbenam, seiring kepak sayap burung-burung putih yang terbang pulang ke sarang di dusun sebelah, aku berjalan di tepi pematang sawah yang sedang hijau-hijaunya.

Langit semburat merah, melukis hangat sore itu. Beberapa kumbang yang hinggap di daun pepohonan, diam tak bergerak seakan bermeditasi menyambut sore yang memerah.

Indah sekali..
namun pikiranku terlalu sibuk untuk mencari tempat dimana aku harus mengabadikan momen menakjubkan itu. Begitu sibuknya aku mengabadikan keajaiban alam itu dengan kamera ponsel yang sengaja aku bawa dari rumah. Tiba-tiba, seekor burung putih hinggap di dahan pohon tak jauh dari tempatku berdiri. Burung itu diam terpaku seolah mematung menatap senja merah. Terbias warna jingga di bulu putihnya.

Lalu tiba tiba aku diam, dan bertanya kepada diriku sendiri, 
"Apa yang sedang kau lakukan?Memotret keindahan senja, sementara keindahan itu terbentang di hadapanmu?"
"Apakah senja ingin kau nikmati dari sebuah foto di media sosial?"
"Atau ingin kau nikmati sekarang?"

Lalu aku melihat kumbang kecil dan burung putih itu masih terdiam, seolah merayakan keindahan yang sedang terjadi. Kemudian kumasukkan ponsel ke dalam tas kecilku, dan duduk di satu tempat agak lapang di pinggir sawah. Akupun duduk bermeditasi, membuka mataku dan menikmati senja merah dalam keheningan pikiran.
Hanya menikmati saja....

Waktu terasa berhenti saat itu, ketika aku melihat matahari pelan-pelan terbenam di cakrawala barat. Aku sadar, banyak sekali keajaiban sederhana yang aku lewatkan dalam kehidupanku. Mungkin tidak hanya aku..banyak orang orang di luar sana yang sibuk mengabadikan keindahan, namun lupa menikmatinya saat itu juga. Lalu dengan bangga mereka memamerkannya di media sosial seolah olah apa yang ada di foto itu nyata.

Ternyata menikmati realitas itu lebih indah. Ada rasa membuncah yang tak bisa dijelaskan dibanding hanya memotret dan melihat hasilnya dalam sebuah foto. Ada sebuah penyerahan diri terhadap kehidupan...
Senja sore itu pasti berbeda dengan senja hari berikutnya.
Kita hanya bisa menikmatinya sekali dalam hidup, karena hari esok sudah berbeda dengan hari ini.
Maka kuteruskan duduk diam hingga senja benar benar pergi...

"Gusti...matur sembah nuwun......."




Wahyu Juniawan November 15, 2022
Read more ...
Pada hakekatnya, aturan dibuat untuk memberi rambu-rambu kepada manusia-manusia yang memiliki tingkat kesadaran rendah. Mengapa demikian?Supaya manusia-manusia yang memiliki kesadaran rendah tidak merusak tatanan dan tidak merugikan manusia atau mahluk lain. Semakin banyak aturan dalam satu negara, menunjukkan semakin rendahnya tingkat kesadaran manusia yang ada di dalam negara tersebut. Uniknya, Indonesia mencetak rekor dunia sebagai negara dengan jumlah aturan terbanyak di dunia. Tercatat ada lebih dari 43 ribu aturan perundang-undangan di Indonesia. Jumlah itu belum termasuk peraturan gubernur, peraturan walikota, peraturan desa, bahkan aturan RT. Itu baru aturan yang tertulis, belum aturan-aturan yang tidak tertulis yang hanya menjadi kesepakatan seperti norma-norma, etika, dan lain sebagainya. Di Indonesia, satu gang kecil pun diberi aturan, seperti batas maksimal kecepatan, sopan santun di jalan, bahkan yang konyol pernah ada aturan yang mengatur pendatang, apalagi non Islam, agar tidak macam-macam dengan warga pribumi yang Islam. Namun walau negara dengan jumlah aturan terbanyak di dunia, Indonesia menempati posisi nomor 64 dari 140 negara di dunia.

Mengapa banyak sedikitnya aturan memiliki korelasi dengan tingkat kesadaran warganya? Analoginya begini. Jika menggunakan helm saat berkendara adalah salah satu cara untuk mengurangi cedera parah pada kepala yang berakibat kematian, maka seharusnya orang tidak perlu diberi aturan 'wajib menggunakan helm' ketika berkendara. Memang aturan pemakaian helm tidak hanya diberlakukan di Indonesia saja. Namun walau dibuat sebuah peraturan, kasus pemakaian helm di Indonesia sangat unik. Rata-rata orang Indonesia tahu jika menggunakan helm akan mengurangi cedera pada kepala saat kecelakaan, namun hal itu justru dianggap angin lalu. Banyak orang Indonesia menggunakan helm karena takut pada aturan dan konsekuensi hukum yang mengikuti aturan tersebut, bukan karena kesadaran akan perlindungan kepala dari benturan saat kecelakaan. Bahkan lebih uniknya lagi, ada banyak orang Indonesia yang menggunakan helm bukan karena takut aturan, tapi takut pada aparat penegak aturan yakni polisi. Buktinya ketika tidak ada polisi, banyak orang Indonesia yang tidak memakai helm, apalagi jika alasannya 'hanya pergi ke depan komplek beli rokok'. Namun ketika berkendara jauh, banyak yang memakai helm karena takut ditilang oleh polisi. Konyolnya lagi ada yang malah marah-marah saat ditilang polisi akibat tidak memakai helm karena beralasan memakai kopiah, sanggul, atau peci. Sebagian orang-orang dengan identitas agama kental di negara ini, justru menjadi pelanggar aturan paling ngeyel alias bebal. Mereka menganggap agama, sebagai penetralisir semua aturan. Tuhan di atas semua aturan hukum!

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP saja, terdapat ratusan lembar aturan yang mengatur perilaku manusia dan hukum sebagai akibat dari tindakan kejahatan manusia. Padahal beratus-ratus bahkan beribu-ribu lembar aturan perundangan hingga aturan hukum bisa dihapus dengan satu hal : kesadaran. Sadar pada kehidupan yang ada saat ini, sadar akan pikiran, sadar akan emosi, sadar akan perilaku. Jika digabung semua akan membentuk satu kalimat pendek : sadar akan kehidupan. Semakin seseorang menyadari pikiran, emosi, dan tindakan, maka beribu-ribu aturan itu sebenarnya tidak perlu ada. Ketika hidup hanya dijalani dengan mengalir pada hukum alam semesta, tidak akan ada kekacauan, dan tidak akan ada segala macam perilaku yang merugikan manusia lain maupun lingkungan dan alam semesta secara luas. Artinya, jika mayoritas manusia Indonesia memiliki kesadaran tinggi, tidak diperlukan ribuan aturan-aturan yang pada akhirnya jadi tumpang tindih dan membingungkan objek aturan itu sendiri. Jika sebuah aturan negara semakin sedikit, artinya kesadaran manusianya pun semakin tinggi. Ketika kesadaran manusianya semakin tinggi, otomatis, tidak akan ada kekacauan, semakin sedikitnya kejahatan, dan masing-masing manusianya akan saling memakmurkan sehingga negara tersebut akan menjadi negara makmur tanpa banyak aturan. 

Lalu apakah rendahnya tingkat kesadaran manusia Indonesia terkait tingkat pendidikan dan ekonomi? Sebenarnya tidak ada korelasi antara pendidikan dan ekonomi dengan rendahnya kesadaran. Rendahnya kesadaran terjadi karena masing-masing manusianya tidak mengerti bagaimana caranya mengenali dan merealisasikan kesadaran?Hal itu diperparah dengan mereka yang mengaku sebagai 'guru agama' namun tidak pernah memahami kesadaran, apalagi merealisasikannya. Guru agama seperti itu adalah guru agama yang tingkat pemahaman agamanya begitu rendah, namun celakanya diberi panggung baik di tengah masyarakat maupun media untuk berceramah kepada orang banyak, Alhasil ajarannya yang salah menjadi virus mematikan yang secara perlahan justru merusak tatanan masyarakat dan kehidupan.
Satu hal yang bisa dilakukan bangsa Indonesia untuk maju adalah mengenalkan kesadaran kepada setiap individu di masyarakat, dan melatih masyarakat untuk merealisasikannya dalam perilaku sehari-hari. Satu orang yang bisa mengaplikasikan kesadaran diri di tengah lima orang yang tidak sadar, akan cukup untuk mempengaruhi tingkat kesadaran lima orang lainnya. Jika hal ini menjadi semacam gerakan-garakan massive dari komunitas kecil, bukan tidak mungkin, dari hal kecil ini akan mengubah sebuah negara, bahkan seisi planet Bumi.











Wahyu Juniawan November 15, 2022
Read more ...