Berdamai dengan diri sendiri tidak berarti kita harus
'memaksa' bahagia dan bersyukur dengan apa yang kita miliki dan kerjakan.
Banyak orang yang berkata, "kita harus bersyukur atas kehidupan
kita", "kita harus mengikuti arus kehidupan, tidak boleh menolak
apapun yang diberikan alam kepada kita..dan seterusnya..."
Kita tidak bisa memaksakan diri harus mencintai sesuatu.
Tidak bisa dipungkiri, dualitas menjadi bagian dari kehidupan. Suka tidak suka
adalah bagian dari kesempurnaan hidup. Jika kita hanya memilih suka saja agar
hidup menjadi bahagia, itu berarti kita belum memahami makna kebijaksanaan.
Bukankah titik tertinggi dari proses belajar adalah memahami kebijaksanaan?
Namun banyak orang yang salah kaprah menganggap hidup yang bahagia adalah harus
selalu suka dengan sesuatu. Kita tidak
boleh marah, tidak boleh jengkel, tidak boleh tidak menyukai sesuatu, agar
hidup menjadi tenang dan bahagia.
Justru berdamai dengan diri sendiri adalah menyadari akan
segala sesuatu sebagai bagian dari kehidupan. Marah adalah respon tubuh yang
diberikan Sang Sumber yang menjadi bagian dari hidup kita. Rasa suka tidak suka
adalah hal yang alami. Sebagai manusia kita memiliki hal-hal yang kita sukai
dan tidak kita sukai. Sebagai manusia secara alami kita memiliki emosi marah,
jengkel, tidak nyaman, dan lain-lain terhadap sesuatu.
Saya sebenarnya tidak pernah menyukai dunia
jurnalistik. Saya tidak pernah nyaman
dengan pekerjaan saya, sehingga saya selalu marah-marah ketika harus bekerja.
Saya mencoba segala cara untuk menyukai pekerjaan saya, namun dari sisi manapun
saya benar-benar tidak menyukai pekerjaan saya. Seorang teman menyarankan saya
untuk resign saja. Namun karena waktu itu saya masih memiliki cicilan KPR, saya
juga tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan saya. Bekerja ngomel, tapi
resign tidak berani. Sungguh sangat semena-mena.
Suatu hari seorang teman yang lain menasehati saya, agar
saya berdamai dengan diri sendiri. Caranya : mencoba ikhlas, menerima apapun
yang kita kerjakan. Kan semua adalah pemberian Tuhan...Apapun itu baik bagi
kita dan harus kita terima dengan lapang dada...Dari situ saya akan menemukan
kebahagiaan.
Namun sekali lagi dari sisi manapun saya tetap tidak
menyukai pekerjaan saya. Nasehat teman saya untuk ikhlas dan menerima, tidak
berfungsi sama sekali!! Mau dikatakan pemberian Tuhan kek, mau dikatakan semua
adalah takdir kek, harus ikhlas, harus menerima, dan lain-lain hanyalah omong
kosong bagi saya. Emang ikhlas dan menerima itu mudah?Coba bayangkan posisinya
dia ada di posisi saya...
Namun pandangan itu kemudian berubah ketika Suatu hari saya
ngobrol dengan tetangga saya, seorang tukang becak yang menjadi teman
poskamling saya. Ia berkata, "siapa yang mau jadi tukang becak mas? Mau
dibilang dari sisi manapun, ya nggak ada yang mau. Orang bilang harus ikhlas,
harus nerimo...mbel gedhes!! Coba orang itu suruh tukeran profesi sama saya
jadi tukang becak!"
"Namun saya menemukan cara mas, kenapa sampai sekarang
saya masih mengayuh becak walau saya tidak pernah suka menjadi tukang becak.
Inilah yang disebut cara bijaksana. Bukan dengan cara memaksakan kita harus
bahagia, harus nerima, harus menyukai sesuatu, harus ikhlas...."
"Carane pripun dhe?"Tanya saya penasaran
"Sadar mas...eling....biarkan rasa tidak suka itu
datang. Jangan ditolak dan jangan diharuskan menjadi suka. Biarkan dia hadir,
datang, berwujud, namun kita hanya mengawasi...waspada. Njenengan cukup tahu
dan mengenali kalau itu rasa tidak suka. Tidak usah ditolak, dan tidak usah
diikuti. Cukup diperhatikan dan diawasi. Karena rasa tidak suka itu sebenarnya
sama manusiawinya dengan rasa suka. Keduanya perwujudan Gusti Pangeran (Tuhan).
Suka dan tidak suka tidak bisa dipisah. Keduanya membentuk kesempurnaan. Jadi
tidak masalah njenengan suka atau tidak suka. Keduanya tidak salah dan tidak
benar. Sangat manusiawi. Memaksa harus suka, memaksa harus bahagia justru yang
tidak manusiawi. Tidak benar menurut saya. Saat njenengan mempersilakan rasa
suka atau tidak suka datang dan pergi, di situlah njenengan akan memahami
bagaimana menjadi orang yang bijaksana...."Kata tetangga saya.
Setelah itu saya paham, alam semesta ini begitu mengalir.
Suka dan tidak suka menjadi bagian dari kesempurnaan. Berdamai dengan diri
sendiri, atau berdamai dengan kehidupan bukan lantas memaksakan kita harus
suka, kita harus senang, atau kita harus bahagia. Menjadi bijaksana juga bukan
dengan cara memandang "semuanya harus baik". Ketika kita hanya
menyadari rasa suka atau tidak suka, justru di situlah kunci dari
kebijaksanaan. Suka dan tidak suka sendiri tidak tunggal. Ia adalah rasa yang
berlapis-lapis. Apa yang saya alami adalah tidak suka dengan pekerjaan saya.
Hal itu diperparah dengan rasa tidak suka terhadap ketidaksukaan saya terhadap
pekerjaan saya. Ketika saya hanya mengamati rasa tidak suka saya, maka lapisan
pertama dari rasa tidak suka itu pun hilang.
Tinggal rasa tidak suka terhadap pekerjaan saya. Ketika saya lanjut
mengamati, membiarkan semua hadir dan tidak menolaknya, menjadi wadah yang
netral, maka rasa tidak suka itupun sebenarnya tidak solid dan tidak tunggal.
Ternyata ada bagian-bagian dari pekerjaan saya yang sebenarnya bisa saya
nikmati, contohnya bagaimana hobi menulis saya tersalurkan, dan bagaimana saya
belajar dari kehidupan orang lain atau beragam peristiwa yang saya liput.
Akhirnya setelah terus menerus berlatih untuk membiarkan rasa tidak suka itu hadir apa adanya, lama-lama rasa tidak suka itupun tidak lagi mendominasi kehidupan dan pekerjaan saya. Namun apakah rasa tidak suka itu hilang? TIDAK! Namun saya kemudian menjadikan rasa tidak suka saya sebagai teman dan sahabat saya. Saya tidak menolak kehadirannya, dan justru berteman dengan rasa tidak suka tersebut. Saya baru tahu, inilah yang dinamakan berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan kehidupan, karena rasa tidak suka adalah bagian dari diri kita. Bukan memaksakan harus suka, harus bahagia, harus ikhlas. Dan akhirnya hal itu membuat saya tidak lagi marah-marah ketika melakukan pekerjaan yang saya tidak suka, karena rasa tidak suka telah menjadi sahabat saya. Ia hanya datang dan pergi, seperti seorang sahabat yang berkunjung ke rumah saya dan kemudian pergi lagi. Hal itu terus berlangsung hingga tahun ini tanpa terasa, saya telah 22 tahun bekerja di dunia yang tidak saya sukai.....