Saat itu jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari, ketika Wagirah dan teman-temannya tiba di Pasar Beringharjo dari kabupaten Kulonprogo yang berjarak sekitar 35 Kilometer dari kota Yogyakarta. Wagirah adalah seorang lansia berusia 70 tahun yang bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo. Sembari menunggu kendaraan angkutan distribusi bahan pangan yang tiba dari Magelang sebelum adzan Subuh berkumandang, Wagirah dan para buruh gendong tidur di emperan toko.
Ketika kendaraan pengangkut bahan pangan tiba, dengan sigap Wagirah mengangkut karung-karung berisi bahan pangan yang beratnya kadang mencapai 40 kilogram. Namun sayang upah yang ia terima seringkali tidak sesuai dengan berat beban yang ia gendong di punggungnya. Ia mendapat upah dari mulai dua ribu hingga lima ribu rupiah, tergantung dari berat beban yang ia gendong. Mengapa?Karena pekerjaan buruh gendong hingga saat ini belum diakui sebagai sebuah profesi oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibatnya tidak ada standarisasi upah bagi buruh gendong.
Beban berat yang digendong Wagirah kadang melampaui kemampuan fisik manusianya yang telah lanjut usia. Tak jarang ia kelelahan. Namun saat lelah, Wagirah sadar ia harus libur dan memanjakan tubuhnya dengan meminum jamu, pijat, maupun memeriksakan kesehatannya di puskesmas.Wagirah hanyalah satu dari 200-an wanita berusia 35 hingga 80 tahun yang kini bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo Yogyakarta.
Bagi sebagian besar orang, pekerjaan yang dilakukan Wagirah adalah sebuah penderitaan. Itulah kesombongan manusia, selalu membandingkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dialaminya dalam kehidupan. Padahal beberapa buruh gendong mengaku mereka justru sangat berbahagia dengan pekerjaannya. Hal ini terkait tradisi kerja keras di kalangan masyarakat Jawa jaman dulu yang masih dipegang teguh oleh Wagirah. Daripada menganggur di rumah dan menjadi beban anak cucu, Wagirah lebih senang bekerja. Baginya pekerjaan mengangkut barang, selain mencari uang, juga sebuah pengabdian pada kehidupan. Hal ini terkait dengan tradisi Jawa jaman dahulu dimana seseorang dengan sukarela mengabdikan dirinya pada sultan dan para bangsawan. Bagi masyarakat Jawa, sultan adalah ulama dan orang suci yang tercerahkan. Sultan dianggap sebagai representasi dari guru, pemimpin, dan kehidupan itu sendiri. Sultan bukanlah sosok manusia semata.. Namun bagi orang Jawa, pengabdian kepada sultan seperti yang dilakukan abdi dalem keraton dan buruh gendong, adalah praktek untuk melepaskan ego keakuan. Banyak diantara kita sekarang, yang walaupun digaji mahal, namun tidak mau diperintah-perintah akibat ego keakuan yang melekat pada diri kita. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Jawa dimana setiap jengkal tanah adalah ajaran suci baginya untuk melatih diri. Bagi para buruh gendong dan abdi dalem, pekerjaan mereka bukan dilakukan semata -mata karena uang, namun merupakan praktek latihan untuk melepaskan ego sebagai bagian dari ajaran spiritualitas Jawa yang masih dipegang teguh oleh sejumlah orang di Yogyakarta.Itulah mengapa mereka rela dibayar sedikit, karena bagi mereka mengabdikan diri berarti berharap berkah dari sultan. Apa berkahnya?Melepaskan ego diri pribadi.
Bagi masyarakat sekarang yang penuh ego dan telah melupakan ajaran suci spiritualitas leluhur Nusantara, tentunya pekerjaan buruh gendong dan abdi dalem adalah perbudakan. Mereka tidak sadar betapa sombongnya orang sekarang yang menganggap semua hal harus dibayar dengan uang . Masyarakat modern yang materialistis tidak akan paham dengan apa yang dilakukan Wagirah dan para buruh gendong. Bagi Wagirah, pekerjaan buruh gendong adalah sarana untuk mencari uang sekaligus sarana untuk berlatih melepaskan ego mereka. Mereka tidak malu menjadi manusia yang dianggap rendah. Bahkan para wanita kuat ini telah membuat saya belajar, bagaimana dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Jawa, selalu ada cara untuk melatih diri guna mencapai tujuan manunggaling kawula Gusti, atau peleburan dengan Ia yang Maha Sunyi. Mereka bahagia dengan pekerjaannya, tidak seperti pandangan kebanyakan orang yang mengasihani mereka dengan kesombongan dan ketidaktahuan akan ego dirinya sendiri..