Saya pernah bertemu dan berbincang dengan seorang teman yang memilih jalan hidup sebagai samanera atau calon Bikkhu. Pada sebuah sesi saya bertanya, "Dulu pernah ada patung Buddha di daerah Sumatera Utara yang dihancurkan karena tuntutan oknum yang menyebut dirinya laskar anu. Lalu mengapa orang Buddha menuruti saja dan menghancurkan patung tersebut?Apa takut karena umat Buddha adalah minoritas?"
Sahabat saya tersenyum. Patung itu dirobohkan bukan karena rasa takut. Namun itu hanyalah patung. Bukan Buddha yang sebenarnya. Itu hanya simbol saja. Segala sesuatu yang masih bisa rusak, hancur, terbakar, tenggelam, atau bahkan mati bukanlah Buddha. Jika karena merobohkan patung itu membuat orang lain berbahagia karena bisa beribadah menurut kepercayaannya, maka tidak apa apa kan dirobohkan?"
Lain hari...
Sebuah gereja Katolik bernama Santa Ludwina yang berada tak jauh dari rumah saya, diserang oleh seorang fanatis radikal. Seorang pastor yang sedang memimpin ibadah dibacok oleh si fanatis.Tak hanya itu, teroris tunggal yang biasa disebut "lonesome wolf" itu juga merusak patung Yesus yang ada di altar gereja dengan parang yang dia gunakan untuk membacok Pastor. Untung sang Pastor selamat dan si penyerang ditangkap ramai ramai oleh umat yang masih bertahan di gereja. Ketika liputan peristiwa memilukan sekaligus memalukan itu selesai, saya pun mulai santai dan ngopi bersama dengan tetangga saya yang kebetulan menjadi pengurus gereja. Tiba tiba ia tertawa terbahak-bahak. Saya heran dan bertanya, "Lha kok tiba tiba tertawa. Apa yang lucu?".
Setelah selesai terbahak ia bercerita.
"Teroris tunggal tadi setelah melukai Pastor, ia langsung lari menuju patung Yesus yang ada di altar. Ia membacokkan parangnya dan merusak patung yang terbuat dari keramik tersebut. Ia bangga sekali telah merusak 'Tuhan kami'.
"Lalu apa yang lucu?" tanya saya heran.
Karena yang ia rusak adalah patung Yesus. Setelah mengira misinya berhasil dengan merusak 'Tuhan kami', iapun tertangkap dan dipukuli oleh umat yang emosi. Namun untung dia diselamatkan oleh salah seorang umat yang melihat orang itu sudah tidak berdaya. Jika ia tahu, paling lama seminggu patung yang baru bisa kami beli dan tempatkan di tempat yang sama, mungkin teroris itu pingsan!" Kata teman saya sambil tertawa. Saya pun terpingkal mendengar ceritanya. Dan benar, bahkan hanya 3 hari kemudian patung yang baru dan lebih bagus pun sudah terpasang di altar gereja.
Saya jadi teringat ketika suatu hari liputan ke kantor pusat PB NU di Kramat Raya Jakarta. Saat itu kami bertemu seorang kyai besar yang sangat saya hormati. Dalam satu sesi setelah selesai wawancara dan bercerita ngalor ngidul, beliau berkata, "Kitab suci itu kan hanya buku. Ketika kitab itu dibakar, apakah isinya lenyap bersama abu?Besok pagi kamu beli yang baru, isinya masih sama. Jadi yang terbakar itu bukan kitabnya, melainkan egomu yang sedang membakar dirimu. Hal itu sama dengan mereka yang membakar kitab suci. Yang mereka bakar bukanlah kitab, namun ego lah yang sedang membakar dirinya. Kedua pihak baik yang membakar dan merasa dibakar, tidak mengenal kebijaksanaan karena dua duanya sedang terbakar..."