Hari ini saya berkunjung ke Vihara Mendut di Magelang Jawa Tengah. Bermeditasi di salah satu ruangan, dan benar benar merasakan damai, seolah saya masuk ke sebuah tempat yang terisolasi dari dunia luar. Satu hal yang saya renungkan selama perjalanan dari Yogyakarta menuju candi Borobudur dan kemudian ke Vihara Mendut adalah pikiran. Betapa banyak manusia yang tidak sadar dikendalikan oleh pikiran. Bahkan dalam bulan suci Ramadhan ini, terlalu banyak manusia yang berpuasa fisik, namun tidak berpuasa pikiran. Terlalu banyak manusia menderita karena ketidaktahuan akan pikiran.

Sepanjang jalan saya terus mengamati pikiran dan terus berada di keheningan pikiran selama saya mampu. Dan di Vihara Mendut adalah puncaknya. Di depan arca Buddha tidur dan ruangan harum aroma dupa, serta penuh damai, saya bermeditasi dengan mengheningkan pikiran saya yang ternyata begitu ruwet dengan segala macam permasalahan duniawi. Saya beberapa kali menulis tentang pikiran manusia, namun saya sadar jika tidak semua orang mengenali pikirannya sendiri. Pikiran seperti gula dalam secangkir kopi yang larut tak berbentuk, namun rasanya tetap ada. Bagi orang yang tidak mengenali gula, ia akan berkata jika kopi yang diminumnya manis. Namun kopi sebenarnya pahit, dan gula lah yang manis. Bagi mereka yang tidak bisa memisahkan gula dan kopi, maka ia tidak akan pernah mengenali bentuk gula. Demikian pula pikiran. Bagi sebagian orang, pikiran seolah larut dan menyatu dengan dirinya. Akibatnya pikiran yang sangat otomatis dan bergerak cepat tidak bisa dikenali. Itulah mengapa, bagi meditator awal, guru saya mengajarkan untuk mengenali kesadaran dulu. Tanpa mengenali kesadaran, anda tidak akan bisa mengenali pikiran, karena pikiran begitu halus dan seolah menyatu dengan "diri kita". Namun bagi sahabat sahabat yang telah berpengalaman dalam bermeditasi, saya yakin mengenali pikiran bukanlah hal sulit, karena memang mengenali pikiran adalah hal yang sangat mudah.

Guru Agung Buddha pernah berkata, hidup dengan pikiran yang jernih dan hening, akan membuat seseorang bahagia karena semua tindakannya dilandasi oleh pikiran yang hening. Filsuf Jiddu Krishnamurti pernah berkata, mengheningkan pikiran tidak bisa dllatih. Mengheningkan pikiran juga tidak bisa di analisa. Mengheningkan pikiran juga tidak bisa dijadikan tujuan. Mengapa? Karena saat mengheningkan pikiran dilatih, dianalisa, dan menjadi tujuan meditasi anda, maka anda tanpa sadar telah menggunakan pikiran anda untuk melandasi niat mengheningkan pikiran. Artinya apa? Mengheningkan pikiran tidak perlu dilatih, diusahakan, atau di analisa bahkan dijadikan tujuan. Saat ini juga anda bisa mengheningkan pikiran dan tercerahkan. Namun bagaimana akan mengheningkan pikiran jika pikiran anda saja tidak anda kenali?

Saya baru paham mengapa para guru-guru besar di jaman dahulu, semakin tinggi ilmunya semakin diam. Tadinya saya mengira semakin banyak tahu maka semakin takut salah akibat sadar semakin banyak ilmu yang tidak diketahui. Namun setelah saya praktekkan di sepanjang jalan tadi, saya jadi paham, ternyata semakin pikiran anda hening, semakin tidak ada kata yang ingin anda ucapkan. Artinya hening "di dalam" otomatis hening "di luar". Mengapa? Sederhana saja.. Ucapan adalah jembatan dari sebuah pikiran seseorang agar dipahami orang lain. Semakin pikiran anda hening, semakin tidak ada yang ingin anda ucapkan. Apa yang mau diucapkan jika tidak ada lagi kehendak, usaha, dan analisa?

Ketika anda belum bisa mengenali pikiran, anda tentu akan diperbudak pikiran. Sederhana saja, apapun yang tertangkap oleh panca indera, secara alami akan masuk ke otak untuk diolah menjadi citra materi. Selain diolah menjadi citra materi, apa yang ditangkap panca indera juga akan masuk ke sistem analisa otak anda. Mengapa? karena otak harus bertugas untuk menganalisa segala macam kemungkinan bahaya yang akan menimpa anda serta apa langkah yang harus anda lakukan? Hasil hasil analisa tersebut kemudian diberi nama "prasangka".

Maka berlatihlah meditasi untuk mengenali kesadaran terlabih dahulu. Saat anda sudah mengenali kesadaran, anda akan tahu yang mana pikiran, yang mana kesadaran, yang mana emosi, yang mana ego. Jika anda sudah mengenali pikiran, maka walau tidak mudah, anda akan bisa mengendalikan pikiran, bahkan mengosongkan pikiran. Dalam tradisi Jawa, "Patining urip" atau mati dalam kehidupan adalah heningnya pikiran yang berakibat matinya kemelekatan. Anda tidak perlu mati dulu untuk mengheningkan pikiran, seperti yang dikatakan banyak orang. Untuk mengheningkan pikiran anda harus mati terlebih dahulu. Pertanyaan saya, apakah heningnya pikiran sama dengan matinya pikiran?Tidak..pikiran tetap ada..namun tidak lagi mendominasi. Ia hanya duduk manis di sudut kehidupan anda tanpa bisa mengatur hidup anda.

Dan di Vihara Mendut, saya diberitahu, pikiran hening tidak harus di tempat-tempat yang sunyi dan nyaman. Pikiran hening harus terus menerus ada selama anda hidup dan dimanapun anda berada.



Wahyu Juniawan Maret 26, 2023
Read more ...
Aku rindu
Dengan keheningan batin
Dengan keheningan pikiran
Dengan keheningan kehidupan

Aku rindu
Pada hari yang sunyi
pada waktu yang berhenti
pada hidup yang hanya bergulir

Mengapa aku menulis tentang rindu?
Karena pikiranku memiliki rindu
Namun ketika aku tahu, rindu itu tidak ada..
Hanya ada aku dan pikiranku



Wahyu Juniawan Februari 17, 2023
Read more ...
Pagi gerimis di akhir musim hujan.
Aku menghayatinya, bukan mencoba.
Kemanapun aku berlari dan bersembunyi,
Kehidupan harus tetap dijalani..

Namun pikiran ini terus mengejarku..
Seolah-olah aku terjebak dalam sebuah perangkap..
Dan ketika para capung itu mengingatkanku..
Aku telah larut terlalu jauh..

Kesunyian, dimanakah kamu...
Begitu sulitnya menggapaimu..
Betapa beratnya menjalani..
Walau aku tahu itu adalah pikiranku sendiri..





Wahyu Juniawan Februari 14, 2023
Read more ...

Saat itu jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari, ketika Wagirah dan teman-temannya tiba di Pasar Beringharjo dari kabupaten Kulonprogo yang berjarak sekitar 35 Kilometer dari kota Yogyakarta. Wagirah adalah seorang lansia berusia 70 tahun yang bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo. Sembari menunggu kendaraan angkutan distribusi bahan pangan yang tiba dari Magelang sebelum adzan Subuh berkumandang, Wagirah dan para buruh gendong tidur di emperan toko.


Ketika kendaraan pengangkut bahan pangan tiba, dengan sigap Wagirah mengangkut karung-karung berisi bahan pangan yang beratnya kadang mencapai 40 kilogram. Namun sayang upah yang ia terima seringkali tidak sesuai dengan berat beban yang ia gendong di punggungnya. Ia mendapat upah dari mulai dua ribu hingga lima ribu rupiah, tergantung dari berat beban yang ia gendong. Mengapa?Karena pekerjaan buruh gendong hingga saat ini belum diakui sebagai sebuah profesi oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibatnya tidak ada standarisasi upah bagi buruh gendong.

Beban berat yang digendong Wagirah kadang melampaui kemampuan fisik manusianya yang telah lanjut usia. Tak jarang ia kelelahan. Namun saat lelah, Wagirah sadar ia harus libur dan memanjakan tubuhnya dengan meminum jamu, pijat, maupun memeriksakan kesehatannya di puskesmas.Wagirah hanyalah satu dari 200-an wanita berusia 35 hingga 80 tahun yang kini bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo Yogyakarta.

Bagi sebagian besar orang, pekerjaan yang dilakukan Wagirah adalah sebuah penderitaan. Itulah kesombongan manusia, selalu membandingkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dialaminya dalam kehidupan. Padahal beberapa buruh gendong mengaku mereka justru sangat berbahagia dengan pekerjaannya. Hal ini terkait tradisi kerja keras di kalangan masyarakat Jawa jaman dulu yang masih dipegang teguh oleh Wagirah. Daripada menganggur di rumah dan menjadi beban anak cucu, Wagirah lebih senang bekerja. Baginya pekerjaan mengangkut barang, selain mencari uang, juga sebuah pengabdian pada kehidupan. Hal ini terkait dengan tradisi Jawa jaman dahulu dimana seseorang dengan sukarela mengabdikan dirinya pada sultan dan para bangsawan. Bagi masyarakat Jawa, sultan adalah ulama dan orang suci yang tercerahkan. Sultan dianggap sebagai representasi dari guru, pemimpin, dan kehidupan itu sendiri. Sultan bukanlah sosok manusia semata.. Namun bagi orang Jawa, pengabdian kepada sultan seperti yang dilakukan abdi dalem keraton dan buruh gendong, adalah praktek untuk melepaskan ego keakuan. Banyak diantara kita sekarang, yang walaupun digaji mahal, namun tidak mau diperintah-perintah akibat ego keakuan yang melekat pada diri kita. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Jawa dimana setiap jengkal tanah adalah ajaran suci baginya untuk melatih diri. Bagi para buruh gendong dan abdi dalem, pekerjaan mereka bukan dilakukan semata -mata karena uang, namun merupakan praktek latihan untuk melepaskan ego sebagai bagian dari ajaran spiritualitas Jawa yang masih dipegang teguh oleh sejumlah orang di Yogyakarta.Itulah mengapa mereka rela dibayar sedikit, karena bagi mereka mengabdikan diri berarti berharap berkah dari sultan. Apa berkahnya?Melepaskan ego diri pribadi.

Bagi masyarakat sekarang yang penuh ego dan telah melupakan ajaran suci spiritualitas leluhur Nusantara, tentunya pekerjaan buruh gendong dan abdi dalem adalah perbudakan. Mereka tidak sadar betapa sombongnya orang sekarang yang menganggap semua hal harus dibayar dengan uang . Masyarakat modern yang materialistis tidak akan paham dengan apa yang dilakukan Wagirah dan para buruh gendong. Bagi Wagirah, pekerjaan buruh gendong adalah sarana untuk mencari uang sekaligus sarana untuk berlatih melepaskan ego mereka. Mereka tidak malu menjadi manusia yang dianggap rendah. Bahkan para wanita kuat ini telah membuat saya belajar, bagaimana dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Jawa, selalu ada cara untuk melatih diri guna mencapai tujuan manunggaling kawula Gusti, atau peleburan dengan Ia yang Maha Sunyi. Mereka bahagia dengan pekerjaannya, tidak seperti pandangan kebanyakan orang yang mengasihani mereka dengan kesombongan dan ketidaktahuan akan ego dirinya sendiri..



Wahyu Juniawan Desember 28, 2022
Read more ...

 Mengapa terjadi koneksi antara seseorang dengan leluhur di sejumlah tempat?


Saya pernah iseng mampir ke candi Mendut di Magelang, setelah muter muter naik motor keliling sputar kawasan Borobudur. Saat itu pandemi Covid 19 masih merajalela sehingga tidak ada satupun orang yang boleh memasuki halaman candi termasuk saya. Saya pun hanya mengucapkan salam dari luar halaman candi. Tiba-tiba tanpa sebab, bulu kuduk saya berdiri terutama di bagian kedua tangan saya. Istri saya juga heran. Hal itu terus terjadi hingga saya sampai rumah.

Selang beberapa hari kemudian, saya pun ditunjukkan mengapa hal tersebut terjadi. Ternyata jawabannya sangat ilmiah. Hal itu terkait dengan DNA yang ada dalam diri masing-masing tubuh manusia. DNA adalah cetak biru memori dari garis leluhur setiap manusia. Memori tidak hanya berupa memori fisik saja, namun juga memori dalam ingatan atau perbuatan yang pernah dilakukan semua leluhur yang satu garis dengan kita. Semakin jauh jarak leluhur semakin kecil pula energinya. Setiap tempat yang pernah didatangi leluhur dan tempat itu memiliki rasa yang mendalam bagi leluhur kita, maka memorinya juga akan tersimpan di tempat tersebut. Dan ketika kita mengunjungi tempat tersebut, maka energi dalam DNA kita yang menyimpan kenangan akan tempat tersebut, akan terkoneksi dengan energi leluhur yang tersimpan di tempat tersebut. Ketika energi yang sama bertemu dan saling tarik menarik, maka yang terjadi kemudian seperti sebuah kabel listrik yang disambungkan ke sebuah lampu : menyala. Demikian pula DNA kita yang menyimpan memori leluhur kita yang tadinya pasif, kemudian menjadi aktif. Akibatnya bermacam-macam dimana masing masing orang berbeda beda. Ada orang yang merasa terhubung secara rasa dengan energi leluhur, ada yang seperti saya meresponnya secara fisik, namun bagi orang yang peka, pikirannya akan memproyeksikan kenangan tersebut serta akan terlihat nyata. Ada yang bahkan kemudian bisa berkomunikasi dengan para leluhurnya.

Sebenarnya tidak hanya tempat penuh emosi saja yang menyimpan memori kuat. Ada pula benda benda lama yang pernah dimiliki atau dicintai leluhur kita seperti senjata yang berupa keris, mandau, atau tombak. Mengapa?karena benda benda tersebut dirawat dengan penuh cinta dan emosi oleh para leluhur. Itulah mengapa dalam tradisi Jawa, benda pusaka yang layak dimiliki adalah benda pusaka milik leluhurnya karena memiliki energi yang sama. Menurut salah satu teman yang hobi dengan keris, sebenarnya keris pusaka tidak boleh diperjual belikan. Seseorang yang ingin memiliki keris disarankan untuk membuat melalui seorang empu keris berpengalaman, atau jika tidak, ia mendapatkan kepercayaan untuk merawat keris leluhurnya. Jika tidak, sering terjadi sebuah keris yang dimiliki seseorang tidak cocok dan "memberontak" karena keris tersebut bukan keris leluhurnya yang satu frekuensi energi dengannya. Tidak hanya pusaka, bahkan baju, hingga cincin pun menyimpan memori leluhur jika benda tersebut menjadi kesayangan para leluhur. Apa yang dimaksud khodam sebenarnya bukan jin atau mahluk halus yang mendiami sebuah benda atau keris, melainkan energi yang tersimpan dari sebuah benda atau keris. Ketika energinya terkoneksi dengan energi kita, maka seseorang yang memiliki kepekaan akan memproyeksikan wujudnya sesuai memori yang ia miliki.

Kadang banyak orang yang berpikir, semua hal yang terkait tradisi masa lalu adalah klenik atau syirik. Padahal orang tersebut sebenarnya orang yang tidak tahu sama sekali tentang adat tradisi dan alam semesta saja. Jika tahu dan paham, maka anda akan tahu jika semua hal yang dianggap ghaib sebenarnya sangat ilmiah dan masuk akal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh ilmuwan jenius asal Kroasia Nikola Tesla yang mengatakan alam semesta ini terdiri dari energi, frekuensi, dan vibrasi. Hal itu kemudian terbukti dengan penelitian fisika quantum yang semakin berkembang. Artinya tidak ada yang namanya ghaib, klenik, keajaiban, keberuntungan dan lain lain. Semua selalu ada sebabnya..

Saya juga baru tahu dari ibu saya jika jaman dahulu, nenek buyut saya sangat sering melakukan sembahyang dan ritual di candi Mendut. Jadi silakan cari sendiri jejak leluhur anda. Apa gunanya mengenali leluhur kita?Yang paling sederhana adalah bagaimana kita bisa berbakti dan mengucapkan terima kasih karena tanpa mereka, kita tidak akan ada di kehidupan ini. Asal jangan minta kekayaan kepada para leluhur. Kita adalah titisan leluhur kita yang menitis melalui DNA kita..
Tradisi Jawa dan Nusantara sangat ilmiah dan rasional. Mereka yang membencinya adalah mereka yang tidak tahu, tidak mau tahu, dan tersesat terlalu jauh tanpa pernah sadar...



Wahyu Juniawan Desember 28, 2022
Read more ...
Rasanya aku tak ingin beranjak dari keheningan batinku..
Aku ingin berlama-lama denganmu, 
dan menjauh dari kehidupan yang berisik dan semu..
Hanya diam dalam rinduku akan pelukanmu..

Seperti Bima yang tak ingin berpisah dari Dewa Ruci..
Menyatu dalam samudera sunyi ketika senja beranjak hadir..
Aku tak ingin apa-apa lagi..
Aku hanya ingin berlama-lama di sini..

Dengan lembut dan perlahan kau menuntunku kembali..
Lalu aku melihat para Rsi melantunkan mantra suci..
Indahnya lambaian gaun para sufi berkontemplasi..
Dan gemulai gerak para penari bermeditasi..

Kedamaian tak kan tersentuh tanpa perjalanan ke dalam diri...
Cinta terlalu indah untuk dipahami..
Keheningan begitu lembut untuk dihayati..
Kehidupan terlalu sederhana untuk dimaknai..

Ijinkan aku yang rindu untuk selalu kembali..
Duduk diam menepi di sini
Walau kau selalu menyertaiku tanpa aku sadari
Maafkan aku yang selama ini lupa dan membuatmu menungguku 
dalam lautan cinta yang sunyi...









Wahyu Juniawan Desember 16, 2022
Read more ...

Saya dahulu pernah ditunjuk sebagai produser sebuah program televisi, yang meliput kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan seseorang dalam bertahan hidup, mulai dari sisi ekonomi maupun mereka yang sakit parah. Awal masuk program tersebut, saya mengira program tersebut benar-benar inspiratif mengangkat perjuangan hidup seseorang. Namun ternyata saya salah. Ternyata banyak orang yang tidak bisa membedakan antara rasa kasihan dan empati, termasuk mereka yang memproduksi program-program televisi.

Setiap mengajar di sebuah kampus jurusan televisi, saya selalu mengingatkan agar mahasiswa bisa membedakan antara rasa kasihan dengan empati yang menginspirasi, ketika mengangkat sebuah topik program. Rasa kasihan dan empati jelas berbeda. Rasa kasihan adalah wujud dari rasa sombong yang jarang kita sadari. Contoh rasa kasihan adalah ketika kita melihat seorang ibu tua jualan minuman sambil lesehan di sebuah sudut jalan Malioboro Yogyakarta. Kita melihat ibu itu dan merasa tersentuh dengan kondisinya. Namun hanya sebatas itu saja. Tidak ada hal lain yang kita bisa ambil hikmah dari ibu tersebut selain rasa kasihan karena sudah tua masih jualan minuman yang untungnya tak seberapa demi bertahan hidup. Rasa kasihan kita akan memunculkan rasa ingin membantu, namun tanpa sadar kita sedang mengumbar kesombongan yang sangat halus. Padahal kita tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Permasalahannya bukanlah anda membantu atau tidak. Tapi sekali lagi rasa kasihan adalah wujud kesombongan yang sangat halus, menyamar seolah-olah menjadi rasa simpati. Padahal hal itu sama sekali bukan simpati, namun bentuk dari pikiran anda yang merasa "lebih" beruntung, lebih punya uang, lebih makmur, lebih "tinggi" derajadnya dari si ibu tersebut. Sekali lagi ini bukan masalah anda membantu atau tidak. Namun jangan salah, tidak semua hal yang ada di depan anda adalah seperti yang anda kira. Pengalaman saya di bawah ini menjelaskan hal tersebut.

Di sebuah hutan di pedalaman Sumatera Barat, terdapat seorang ibu tua berumur kurang lebih 70 an tahun, yang dipanggil emak oleh warga sekitar. Emak memiliki seorang anak bernama Buyung. Buyung saat itu berumur 40 tahunan. Namun karena menderita keterbelakangan mental dan buta, sampai seusia itu Buyung belum berkeluarga. Ia membantu emak berjualan sapu lidi di pasar. Satu sapu lidi dihargai 10 ribu rupiah, dari harga modal 5 ribu rupiah. Setiap pagi sehabis sholat Subuh, mereka berdua berangkat ke pasar yang berjarak sekitar 30 kilometeran dari rumah emak dan Buyung. Lebih miris lagi adalah mereka berangkat ke pasar menggunakan gerobak kayu kecil beratap. Buyung yang masih kuat berjalan walau buta, menarik gerobak. Sementara emak yang masih bisa melihat, namun sudah tak kuat berjalan, duduk di dalam gerobak sambil mengarahkan jalannya Buyung yang menarik gerobak tanpa alas kaki. "Kiri buyung! Kanan buyung! awas depan belok kiri!..."
Setiap hari mereka berdua menempuh jarak 60 kilometeran pulang pergi, dan hanya menghasilkan keuntungan rata-rata 20-30 ribu rupiah setiap hari. Saya dan reporter merasa kasihan dengan nasib emak dan Buyung. Kami pun merencanakan memberikan sedikit uang kami untuk membantu kehidupan emak. Uang tersebut kami beri amplop dan kami berikan saat kami hendak berpamitan pulang ke Jakarta. Namun rasa kasihan kami ternyata malah menasbihkan kesombongan kami yang merasa orang lebih mampu, orang lebih beruntung, dan lebih segalanya. Ketika saya beri uang, emak menolak dengan tegas!
"Bukan begini nak caranya bersilaturahmi. Kami membutuhkan uang, namun kami bukan pengemis. Kalau anak menganggap kami ini orang miskin, sebaliknya kami menganggap kami kaya sebagai rasa syukur kepada Allah. Saya masih diberi sehat, Buyung juga. Kami masih bisa makan walau seadanya. Kami masih bisa saling membantu, bahkan saya masih bisa membantu tetangga desa sebelah ketika ada yang sakit, walau uang kami pas-pasan. Semua orang butuh uang nak, namun tidak semua orang menganggap uang adalah pemecah masalah. Justru banyak orang yang tidak memahami, bagaimanapun kehidupan kita, susah senang itu kita sendiri yang menjalani. Orang lain hanya menghakimi kita miskin atau kaya, susah atau senang. Namun ketika kita terus berterima kasih, hidup akan menjadi berbeda. Orang lain hanya melihat luarnya saja, merasa kasihan, padahal saya tidak butuh dikasihani. Anak mengunjungi kami, kami bertambah saudara, itu sudah berkah untuk kami....Jadi jangan beri kami uang nak...nanti kami akan terbiasa meminta...."Jawab Emak.
Setelah emak menolak uang kami, suasana menjadi sangat hening. Tinggal suara jangkrik di pinggir hutan menyadarkan betapa sombongnya kami akibat rasa kasihan yang tak beralasan. Apalagi ditambah kecongkakan kami yang menyelesaikan masalah dengan uang. Namun karena saya sudah menyita waktu emak dan Buyung, sebagai gantinya saya lantas membeli semua sapu yang tersisa di rumah emak agar ia besok bisa sehari libur berjualan, sekaligus pengganti ketenangannya yang hilang akibat kedatangan kami.

Begitulah rasa kasihan. Ia adalah kesombongan yang menyamar. Hal itu berbeda dengan empati. Dari cerita di atas, rasa kasihan saya berubah menjadi empati. Mengapa? Karena prinsip emak, saya menjadi sangat kerdil, menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, menyadari kesombongan saya, dan menjadi kagum dengan prinsip emak yang membuat saya banyak belajar dari emak dalam memandang penderitaan hidup.

Kembali lagi ke program televisi, kini anda jadi tahu, banyak program televisi yang seolah-olah program inspirasi, namun jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya program-program tersebut hanya menjual rasa kasihan demi rating program televisi. Mengapa?karena banyak yang tidak bisa membedakan antara rasa kasihan dan empati. Kasihan adalah rangkaian benang halus dari kesombongan kita, sementara empati adalah rasa yang muncul saat kita yang tidak tahu apa-apa ini dapat belajar ilmu kehidupan dari orang-orang yang bahkan dipandang sebelah mata oleh manusia lain, namun di mata Tuhan mereka adalah orang-orang yang diberikan tugas menjadi guru bagi manusia lain. Jadi ini bukan masalah membantu atau tidak. Jika anda perlu membantu, bantulah, namun jangan membantu karena anda merasa lebih beruntung dari orang lain. Bantulah karena kesadaran bahwa kehidupan ini saling terkait. Mereka adalah anda, anda adalah mereka. Seperti juga tubuh anda, ketika satu bagian tubuh sakit, maka sekujur badan akan terasa sakit. Tidak ada yang lebih penting, lebih beruntung, lebih kaya satu sama lain. Semua memiliki kebahagiaan dan penderitaan yang berbeda beda. Jangan anggap hidup orang lain harus sama dengan prinsip yang anda percayai. Mencuri tidak selalu buruk, dan membantu juga tidak selalu baik. Gunakan kesadaran dan kebijaksanaan untuk melihat segala sesuatu dengan jernih dari berbagai sisi. Jika anda ingin membantu, bantulah semua yang membutuhkan, karena rasa cinta, bukan karena rasa kasihan, bahkan yang lebih parah karena faktor surga dan neraka..



Wahyu Juniawan Desember 15, 2022
Read more ...

Saya pernah diminta menjadi pembicara di depan sebuah forum bertema komunikasi di dunia science yang dihadiri oleh dokter-dokter senior yang sebagian telah menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat saya menerima tawaran tersebut, saya enteng-enteng saja. Namun menjelang hari H forum, saya tidak bisa tidur. Stres mengingat tamu tamu yang hadir nanti adalah orang orang pandai yang sudah memakan asam garam di dunia kedokteran. Apalagi teman saya mengatakan hal yang semakin membuat saya stres, "Nanti pakaian rapi, jaga sopan santun, dan bikin materi yang menyenangkan..."

Saya ingat bagaimana di otak saya, ratusan pertanyaan muncul serempak tanpa terbendung. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan nanti?Bagaimana jika nanti materi saya membosankan?Bagaimana jika saya salah berbicara?Bagaimana jika saya diberi pertanyaan yang sulit saya jawab?Siapakah saya ini?Saya bukan siapa siapa dibandingkan para hadirin..dan ratusan pikiran lain yang berseliweran tanpa terbendung. Di hari H, untuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan sudah terasa sangat berat, apalagi ketika memulai pembicaraan dan pemaparan materi. Lidah terasa kaku, dan benar...situasi mencekam seperti puncak cerita film horor. Lima menit terasa sangat menegangkan.

Setelah saya berbicara 5 menit, 10 menit, 15 menit, situasi berangsur angsur cair. Ternyata situasinya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Para dokter senior tersebut justru penuh canda tawa. Ada memang satu dua yang terlihat kaku, nanun rata-rata peserta justru membuat suasana menjadi sangat hidup. Kalimat demi kalimat pun keluar dari mulut saya tanpa ada keraguan. Di akhir sesi, saya bahkan mendapat banyak terima kasih dari para dokter hebat tersebut!

Setelah forum itu, saya merenungkan semuanya. Ternyata benar apa kata guru saya. Sebuah pekerjaan akan terasa sangat berat ketika kita terlalu banyak berpikir tentang pekerjaan itu. Apalagi jika pekerjaan tersebut tidak kita sukai. Pikiran akan memunculkan keluhan-keluhan yang tidak beralasan. Padahal ketika pekerjaan itu berlangsung, semuanya begitu ringan kita jalani. Seringkali sebelum melakukan pekerjaan kita terlalu banyak berpikir ini itu, mengkhawatirkan ini itu, menimbang ini itu yang semuanya bahkan belum kita jalani. Beberapa orang bahkan lebih fokus pada hal-hal negatif, termasuk hal negatif dirinya, dibandingkan hal positif. Dalam kasus di atas contohnya. Para dokter senior tersebut benar-benar pandai, namun pandai pada bidangnya yakni kedokteran. Untuk urusan komunikasi, tentulah saya sebagai orang media lebih berpengalaman. Bukankah mereka mau belajar dari saya?

Begitulah manusia, daripada langsung bekerja, banyak yang lebih memilih terlalu banyak berpikir terlebih dahulu. Padahal sebuah pekerjaan akan terasa sangat ringan jika kita langsung mengerjakannya. Banyak yang belum belum sudah mengkhawatirkan ini itu. Pada saat itu ego lah yang bekerja Ego adalah sistem pertahanan diri. Belum-belum sudah fokus ke hal hal negatif, lalu muncul kekhawatiran jika nanti "aku" dipermalukan, dihina, dilecehkan, disudutkan, dijadikan omongan di belakang, tidak lagi dihargai, tidak lagi dihormati, mengecewakan orang lain, dan banyak ego "aku" "aku" lainnya. Padahal seharusnya saya justru fokus pada kelebihan saya saja dan mempersiapkan materi yang akan saya sajikan. Ketika semua saya kerjakan begitu saja dan menyerahkannya pada mekanisme alam semesta dengan kepasrahan, hukum alam semesta akan mengarahkan saya kepada situasi dimana semua akan baik baik saja. Hal ini juga ternyata berlaku di pekerjaan-pekerjaan saya lainnya...





Wahyu Juniawan Desember 15, 2022
Read more ...

Seorang guru bijak ditanya oleh para murid di sesi pengajaran malam,

"Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sunyata atau realitas sejati dan benar-benar benar mengenali diri kita yang sejati?"

Sang guru diam tanpa kata.

Para murid bingung mengapa sang guru tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"Guru..apa jawabannya?"Tanya para murid.

"Bukankah aku sudah menjawab?"Kata sang guru.

Para murid kebingungan, karena sang guru belum menjawab apa-apa.

"Kamu terlalu banyak bertanya...diamlah...."

Akhirnya para murid paham dan tidak lagi bertanya...



Wahyu Juniawan Desember 13, 2022
Read more ...

Ada sesuatu yang paling besar di alam semesta ini. Sesuatu yang paling besar itu dinamakan pikiran. Mengapa paling besar?Karena dunia 3 dimensi ini dengan segala mahluk paling besar sekalipun ada di dalam pikiran. Pikiran adalah masa lalu. Bahkan segala yang anda lihat dan rasakan dengan panca indera adalah masa lalu. Jika masa lalu dan masa depan tidak ada, demikian pula saat ini. Saat inipun tidak ada, semua yang anda lihat dan alami adalah masa lalu. Realitas adalah cahaya dan energi yang dibendakan. Tidak ada bentuk, karena semua bentuk ada di pikiran kita. Kita adalah layar dari pikiran kita. Realitas sejati ada, namun realitas sejati bukanlah bentuk dan realitas yang anda alami saat ini.


Pikiran adalah yang anda sebut sebagai "aku". Sekali lagi, pikiran adalah yang anda sebut sebagai "aku". Tunjuklah "aku", maka anda hanya akan menemukan konsep-konsep yang tidak nyata. Anda pun tidak akan bisa menunjuk amarah, benci, iri, dan lain-lain, karena "aku" benar-benar konsep yang penuh kerangka, tidak tunggal. Lalu siapa aku yang sebenarnya?

Damai?Apa yang dimaksud damai?Damai adalah ketika anda tidak lagi menggunakan pikiran yang mana pikiran adalah "aku" dan masa lalu, bukan saat ini. Bahkan apa yang anda lihat saat ini adalah masa lalu. Damai adalah ketika anda benar-benar ada di saat ini saat pikiran tidak aktif, dan tidak pula memiliki sesuatu yang diusahakan. Bahkan ketika anda mengusahakan damai, apa yang anda temui justru bukanlah damai. Anda akan merasakan diri sejati ketika anda tidak berada di masa lalu, masa depan, bahkan saat ini. Mengapa?karena ketiganya tidak nyata dan tidak benar-benar ada termasuk saat ini. Namun ketika anda memasuki saat ini yang benar benar saat ini, disitulah letak diri sejati...letak damai...letak kebahagiaan sejati. Karena untuk merasakan saat ini yang benar-benar saat ini, bukan saat ini yang merupakan imajinasi pikiran, anda perlu untuk menonaktifkan semua panca indera dan pikiran.

Konsep ini sangat sulit dipahami bagi anda yang baru saja memulai perjalanan pencarian diri. Apalagi memahami konsep rumit, bahwa saat ini dan segala materi yang anda saksikan dan rasakan tidak benar-benar saat ini, melainkan masa lalu...
Namun jangan khawatir...dengan ketekunan dan kesabaran, anda akan dituntun untuk memahami..



Wahyu Juniawan Desember 12, 2022
Read more ...

Pagi itu, Wajah Seruni begitu cemberut. Ia terlihat jengkel dengan sesuatu. Danang Aji melihatnya dan bertanya,
"Mengapa wajahmu berlipat-lipat seperti baju belum diseterika begitu Seruni?"tanya Danang Aji sembari tersenyum.

Dikatakan begitu, Seruni bertambah cemberut.
"Hari ini aku dapat tugas dari guru, harus membersihkan seluruh kamar mandi karena kabarnya akan ada rombongan tamu dari luar kota menginap di padepokan. Harusnya jadwal yang bertugas membersihkan kamar mandi adalah Mahesa. Tapi katanya Mahesa sakit, jadi aku disuruh guru untuk menggantikan tugasnya membersihkan kamar mandi-kamar mandi yang akan digunakan para tamu. Padahal aku sudah punya janji dengan Kenari akan ke taman, mengulang ajaran tadi malam. Dasar guru! kan masih banyak murid yang lain selain aku yang bisa menggantikan Mahesa. Kenapa harus aku yang membersihkan kamar mandi?Bisa seharian aku membersihkan 10 kamar mandi!

Melihat Seruni marah-marah, Danang Aji tersenyum.
"Seruni..tahukah kamu, apa yang memberatkan pekerjaanmu?Yang membuat pekerjaanmu berat bukanlah membersihkan kamar mandinya, namun pikiranmu sendiri. Kamu terus berpikir dan mengomel, tidak mau menerima, dan memilih untuk terus menerus marah. Jika kamu sekarang memulai pekerjaanmu tanpa berpikir, semua akan mudah. Banyak orang yang merasa hidupnya berat. Namun sesungguhnya yang berat bukan hidupnya, namun ketika orang itu terus berpikir tentang beratnya hidup. Hidup hanya dijalani tanpa berpikir. Berpikirlah ketika kamu butuh kecerdasan pikiranmu, selebihnya berhenti berpikir dan mulailah bekerja..."

Lalu sekitar jam 12 siang, semua pekerjaan Seruni selesai lebih cepat dari perkirannya semula. Ia pun menemui Danang Aji yang sedang menyapu halaman samping padepokan.
"Benar mas...ternyata pekerjaanku tidak seberat yang aku kira. Ternyata yang membuat pekerjaanku berat adalah aku terus menerus berpikir dan tidak mau menerima. Setelah aku kerjakan tanpa berpikir dan ngomel, pekerjaanku lebih cepat selesai dari perkiraanku. Sekarang aku bisa menemui Kenari...."

Danang Aji tersenyum melihat Seruni berlari-lari kecil menjauh dari dirinya, untuk menemui Kenari di taman...



Wahyu Juniawan Desember 11, 2022
Read more ...

Mulai tahun 2015 an, seiring dengan semakin naiknya trend kopi di kalangan anak muda, Yogyakarta menjelma menjadi kota yang penuh dengan kafe-kafe kopi. Setiap kafe kopi menampilkan desain-desain yang unik dan membuat orang betah berlama-lama berkunjung. Harapannya tentunya semakin lama berkunjung, semakin banyak pula uang yang akan dihabiskan sekadar hanya untuk menikmati kopi. 

Namun apakah para pengunjung benar-benar menikmati kopi?

Seorang teman saya adalah pengusaha salah satu kafe kopi kecil di kawasan Sleman. Suatu hari saya mengunjunginya dan berkesempatan mengobrol mengenai bisnis kopinya. Ia bercerita bahwa rata-rata kafe kopi, termasuk kafe kopi yang ia kelola, menyediakan meja kursi yang nyaman seperti sofa empuk, agar pengunjung betah berlama-alam mengobrol di kafenya. Uniknya meja kursi yang disediakan rata-rata menampung lebih dari 4 orang dalam satu kelompok meja kursi. Ternyata ini adalah stategi pemilik kafe untuk merespon trend nongkrong di kalangan anak muda sambil ngopi. Lalu di benak saya muncul pertanyaan, "Jika nongkrong sambil ngopi, darimana mereka bisa menikmati kopi?"

Seringkali kita mengaku menikmati sesuatu, namun sebenarnya itu hanya ego kita agar terlihat keren. Kita sebenarnya tidak sedang benar-benar menikmati apa yang kita makan atau minum. Ketika nongkrong sambil ngopi dengan banyak orang, perhatian kita justru akan tercurah lebih banyak kepada obrolan-obrolan seru kita. Pikiran kita akan bergerak kesana kemari memikirkan topik obrolan selanjutnya agar situasi tidak menjadi sepi dan membosankan. Kita justru lupa pada secangkir kopi yang sudah kita pesan dengan harga mahal. Tidak ada proses menikmati rasa kopi yang sebenarnya. Manis pahit, enak tidak enak menjadi tidak penting dibanding obrolan obrolan seru bersama teman-teman kita. Lalu dimana "trend kopi" nya?

Untuk bisa menikmati sesuatu kita sebenarnya hanya perlu diam. Benar-benar merasakan panasnya kopi yang terinduksi melalui cangkir. Benar-benar membaui aroma kopi panas yang segar. Benar-benar merasakan air kopi pelan-pelan masuk ke tenggorokan sampai memanaskan perut kita. Namun rata-rata mereka yang mengaku "mengikuti trend kopi" justru minum kopi seperti hanya formalitas agar terlihat keren dan gaul. Mereka tidak pernah benar-benar merasakan rasa kopi yang sesungguhnya. Kopi hanya faktor kedua setelah obrolan. Makanya harusnya mereka mengubah sebutan "trend kopi" menjadi "trend nongkrong di kafe kopi". 

Saya pernah melakukan sebuah peliputan di restoran chef terkenal Indonesia, William Wongso. Saat itu kami sedang melakukan peliputan dengan topik trend minuman anggur. Ketika itu William Wongso menuangkan dua gelas anggur, 1/6 gelas anggur merah dan 1/6 gelas anggur putih. Mengapa saya bilang 1/6? Karena anggur yang beliau tuang memang sedikit sekali. Namun katanya memang seperti itulah cara menikmati anggur yang berkelas. Beliau pun meminta saya dan reporter saya untuk mencoba menikmati anggur yang konon berumur tahunan dan berharga mahal tersebut. Saya yang buta pengetahuan tentang anggur, langsung menenggak habis anggur, yang takarannya mungkin jika diukur dengan satu botol anggur cap Orang Tua, porsi anggur yang saya tegak seperti sisa-sisa anggur yang telah habis diminum untuk mabuk. Chef William Wongso tertawa melihat saya menenggak habis anggur yang beliau tuang, dalam satu kali tenggakan. Beliau pun mengajari saya cara menikmati anggur secara "benar". 

"Minumnya pelan-pelan saja. Sedikit saja diminum, pelan-pelan dikumur-kumur dulu untuk memberikan kesempatan lidah merasakan rasa anggur, batu ditelan. Jangan langsung diminum seperti minum air.."Kata beliau sambil tersenyum. Saya jadi tahu mengapa takaran untuk minum anggur sangat sedikit. Hal terpenting dari minum anggur adalah "merasakan" rasa anggur tersebut sehingga tidak perlu takaran besar untuk minum secangkir anggur. Anggur ini untuk dirasakan, dinikmati keindahan rasanya, kelembutan teksturnya, Bukan untuk diminum banyak-banyak dan menjadikan kita mabuk.

Saya jadi berpikir, mungkin jika anak-anak muda itu benar-benar menikmati "trend kopi", mereka akan minum kopi seperti cara minum anggur yang diajarkan chef William tadi, pelan-pelan dengan penuh kesadaran. Itulah yang dinamakan menikmati....




Wahyu Juniawan November 30, 2022
Read more ...

"Apa yang dilakukan untuk mencapai realisasi sunyata atau realitas sejati yang sebenar-benarnya?" Tanya Seruni kepada Danang Aji yang sedang duduk di teras, sembari menyeruput kopi panas buatan Seruni.


"Mempertajam rasa...."Kata Danang aji.

"Rasa yang seperti apa?Aku belum paham..." Tanya Seruni penasaran.

"Salah kaprah yang terjadi di kalangan kita adalah menyamakan rasa dengan emosi. Rasa berbeda dengan emosi. Rasa itu merasakan realitas, tidak hanya dengan panca indera, namun kesatuan dirimu. Rasa itu sadar, sadar itu merasakan. Contoh ketika aku menyeruput kopi ini, aku merasakan rasa pahit di lidahku. Namun aku juga merasakan tekstur air, serbuk kopi, masuknya air ke tenggorokanku, sampai bagaimana air melalui ususku sehingga perutku menjadi hangat. Itu lah rasa...bukan senang, sedih, kecewa, dan lain-lain. Senang, sedih, kecewa dan lain-lain itu emosi, bukan rasa. Rasa itu sangat halus dan sulit dijelaskan, hanya bisa dirasakan..."Kata Danang Aji.

"Lalu mengapa rasa menjadi penting dan menjadi jalan menuju keheningan sejati?"Tanya Seruni.

"Manusia banyak yang lupa kepada rasa, karena sibuknya pikiran. Untuk merasakan rasa, manusia harus mengendapkan pikiran. Mengendapkan, bukan menghilangkan karena selama hidup, pikiran selalu ada. Ketika pikiranmu mengendap, kamu bisa merasakan halusnya rasa. Dari mulai gerak organ tubuhmu, dinginnya tanah yang kau pijak, hangatnya matahari pagi ini, atau halusnya angin yang menerpa tubuhmu. Namun jika rasa mu semakin tajam, kamu akan bisa merasakan gerak yang lebih halus, seperti detak jantungmu, kembang kempisnya paru parumu, gerak oksigen yang kau hirup, getaran sayap lebah di pohon itu, atau gerakan pohon yang seperti diam itu. Jika rasamu lebih tajam lagi, kamu akan bisa merasakan gerak molekul tubuhmu, hingga gerak energi yang tak terdeteksi oleh panca inderamu yang terbatas. Jika rasamu semakin peka, kamu akan merasakan inti dari alam semesta. Itulah mengapa guru-guru bijak Jawa jaman dahulu menekankan pentingnya mengasah rasa. Karena rasa adalah gerbang menuju realitas sejati yang tak terjamah panca indera akibat sibuknya pikiran, sehingga rasa menjadi tumpul...."Kata Danang Aji

"Kamu tidak akan paham kecuali melatih rasamu sendiri. Segala macam yoga, meditasi, dan ibadah sejatinya adalah melatih rasa...."





Wahyu Juniawan November 27, 2022
Read more ...