Saat itu jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari, ketika Wagirah dan teman-temannya tiba di Pasar Beringharjo dari kabupaten Kulonprogo yang berjarak sekitar 35 Kilometer dari kota Yogyakarta. Wagirah adalah seorang lansia berusia 70 tahun yang bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo. Sembari menunggu kendaraan angkutan distribusi bahan pangan yang tiba dari Magelang sebelum adzan Subuh berkumandang, Wagirah dan para buruh gendong tidur di emperan toko.
Mengapa terjadi koneksi antara seseorang dengan leluhur di sejumlah tempat?
Saya dahulu pernah ditunjuk sebagai produser sebuah program televisi, yang meliput kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan seseorang dalam bertahan hidup, mulai dari sisi ekonomi maupun mereka yang sakit parah. Awal masuk program tersebut, saya mengira program tersebut benar-benar inspiratif mengangkat perjuangan hidup seseorang. Namun ternyata saya salah. Ternyata banyak orang yang tidak bisa membedakan antara rasa kasihan dan empati, termasuk mereka yang memproduksi program-program televisi.
Setiap mengajar di sebuah kampus jurusan televisi, saya selalu mengingatkan agar mahasiswa bisa membedakan antara rasa kasihan dengan empati yang menginspirasi, ketika mengangkat sebuah topik program. Rasa kasihan dan empati jelas berbeda. Rasa kasihan adalah wujud dari rasa sombong yang jarang kita sadari. Contoh rasa kasihan adalah ketika kita melihat seorang ibu tua jualan minuman sambil lesehan di sebuah sudut jalan Malioboro Yogyakarta. Kita melihat ibu itu dan merasa tersentuh dengan kondisinya. Namun hanya sebatas itu saja. Tidak ada hal lain yang kita bisa ambil hikmah dari ibu tersebut selain rasa kasihan karena sudah tua masih jualan minuman yang untungnya tak seberapa demi bertahan hidup. Rasa kasihan kita akan memunculkan rasa ingin membantu, namun tanpa sadar kita sedang mengumbar kesombongan yang sangat halus. Padahal kita tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Permasalahannya bukanlah anda membantu atau tidak. Tapi sekali lagi rasa kasihan adalah wujud kesombongan yang sangat halus, menyamar seolah-olah menjadi rasa simpati. Padahal hal itu sama sekali bukan simpati, namun bentuk dari pikiran anda yang merasa "lebih" beruntung, lebih punya uang, lebih makmur, lebih "tinggi" derajadnya dari si ibu tersebut. Sekali lagi ini bukan masalah anda membantu atau tidak. Namun jangan salah, tidak semua hal yang ada di depan anda adalah seperti yang anda kira. Pengalaman saya di bawah ini menjelaskan hal tersebut.Saya pernah diminta menjadi pembicara di depan sebuah forum bertema komunikasi di dunia science yang dihadiri oleh dokter-dokter senior yang sebagian telah menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat saya menerima tawaran tersebut, saya enteng-enteng saja. Namun menjelang hari H forum, saya tidak bisa tidur. Stres mengingat tamu tamu yang hadir nanti adalah orang orang pandai yang sudah memakan asam garam di dunia kedokteran. Apalagi teman saya mengatakan hal yang semakin membuat saya stres, "Nanti pakaian rapi, jaga sopan santun, dan bikin materi yang menyenangkan..."
Saya ingat bagaimana di otak saya, ratusan pertanyaan muncul serempak tanpa terbendung. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan nanti?Bagaimana jika nanti materi saya membosankan?Bagaimana jika saya salah berbicara?Bagaimana jika saya diberi pertanyaan yang sulit saya jawab?Siapakah saya ini?Saya bukan siapa siapa dibandingkan para hadirin..dan ratusan pikiran lain yang berseliweran tanpa terbendung. Di hari H, untuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan sudah terasa sangat berat, apalagi ketika memulai pembicaraan dan pemaparan materi. Lidah terasa kaku, dan benar...situasi mencekam seperti puncak cerita film horor. Lima menit terasa sangat menegangkan.Seorang guru bijak ditanya oleh para murid di sesi pengajaran malam,
"Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sunyata atau realitas sejati dan benar-benar benar mengenali diri kita yang sejati?"Ada sesuatu yang paling besar di alam semesta ini. Sesuatu yang paling besar itu dinamakan pikiran. Mengapa paling besar?Karena dunia 3 dimensi ini dengan segala mahluk paling besar sekalipun ada di dalam pikiran. Pikiran adalah masa lalu. Bahkan segala yang anda lihat dan rasakan dengan panca indera adalah masa lalu. Jika masa lalu dan masa depan tidak ada, demikian pula saat ini. Saat inipun tidak ada, semua yang anda lihat dan alami adalah masa lalu. Realitas adalah cahaya dan energi yang dibendakan. Tidak ada bentuk, karena semua bentuk ada di pikiran kita. Kita adalah layar dari pikiran kita. Realitas sejati ada, namun realitas sejati bukanlah bentuk dan realitas yang anda alami saat ini.
Pagi itu, Wajah Seruni begitu cemberut. Ia terlihat jengkel dengan sesuatu. Danang Aji melihatnya dan bertanya,
"Mengapa wajahmu berlipat-lipat seperti baju belum diseterika begitu Seruni?"tanya Danang Aji sembari tersenyum.
Dikatakan begitu, Seruni bertambah cemberut.
"Hari ini aku dapat tugas dari guru, harus membersihkan seluruh kamar mandi karena kabarnya akan ada rombongan tamu dari luar kota menginap di padepokan. Harusnya jadwal yang bertugas membersihkan kamar mandi adalah Mahesa. Tapi katanya Mahesa sakit, jadi aku disuruh guru untuk menggantikan tugasnya membersihkan kamar mandi-kamar mandi yang akan digunakan para tamu. Padahal aku sudah punya janji dengan Kenari akan ke taman, mengulang ajaran tadi malam. Dasar guru! kan masih banyak murid yang lain selain aku yang bisa menggantikan Mahesa. Kenapa harus aku yang membersihkan kamar mandi?Bisa seharian aku membersihkan 10 kamar mandi!
Melihat Seruni marah-marah, Danang Aji tersenyum.
"Seruni..tahukah kamu, apa yang memberatkan pekerjaanmu?Yang membuat pekerjaanmu berat bukanlah membersihkan kamar mandinya, namun pikiranmu sendiri. Kamu terus berpikir dan mengomel, tidak mau menerima, dan memilih untuk terus menerus marah. Jika kamu sekarang memulai pekerjaanmu tanpa berpikir, semua akan mudah. Banyak orang yang merasa hidupnya berat. Namun sesungguhnya yang berat bukan hidupnya, namun ketika orang itu terus berpikir tentang beratnya hidup. Hidup hanya dijalani tanpa berpikir. Berpikirlah ketika kamu butuh kecerdasan pikiranmu, selebihnya berhenti berpikir dan mulailah bekerja..."
Lalu sekitar jam 12 siang, semua pekerjaan Seruni selesai lebih cepat dari perkirannya semula. Ia pun menemui Danang Aji yang sedang menyapu halaman samping padepokan.
"Benar mas...ternyata pekerjaanku tidak seberat yang aku kira. Ternyata yang membuat pekerjaanku berat adalah aku terus menerus berpikir dan tidak mau menerima. Setelah aku kerjakan tanpa berpikir dan ngomel, pekerjaanku lebih cepat selesai dari perkiraanku. Sekarang aku bisa menemui Kenari...."
Danang Aji tersenyum melihat Seruni berlari-lari kecil menjauh dari dirinya, untuk menemui Kenari di taman...
Mulai tahun 2015 an, seiring dengan semakin naiknya trend kopi di kalangan anak muda, Yogyakarta menjelma menjadi kota yang penuh dengan kafe-kafe kopi. Setiap kafe kopi menampilkan desain-desain yang unik dan membuat orang betah berlama-lama berkunjung. Harapannya tentunya semakin lama berkunjung, semakin banyak pula uang yang akan dihabiskan sekadar hanya untuk menikmati kopi.
Namun apakah para pengunjung benar-benar menikmati kopi?
Seorang teman saya adalah pengusaha salah satu kafe kopi kecil di kawasan Sleman. Suatu hari saya mengunjunginya dan berkesempatan mengobrol mengenai bisnis kopinya. Ia bercerita bahwa rata-rata kafe kopi, termasuk kafe kopi yang ia kelola, menyediakan meja kursi yang nyaman seperti sofa empuk, agar pengunjung betah berlama-alam mengobrol di kafenya. Uniknya meja kursi yang disediakan rata-rata menampung lebih dari 4 orang dalam satu kelompok meja kursi. Ternyata ini adalah stategi pemilik kafe untuk merespon trend nongkrong di kalangan anak muda sambil ngopi. Lalu di benak saya muncul pertanyaan, "Jika nongkrong sambil ngopi, darimana mereka bisa menikmati kopi?"
Seringkali kita mengaku menikmati sesuatu, namun sebenarnya itu hanya ego kita agar terlihat keren. Kita sebenarnya tidak sedang benar-benar menikmati apa yang kita makan atau minum. Ketika nongkrong sambil ngopi dengan banyak orang, perhatian kita justru akan tercurah lebih banyak kepada obrolan-obrolan seru kita. Pikiran kita akan bergerak kesana kemari memikirkan topik obrolan selanjutnya agar situasi tidak menjadi sepi dan membosankan. Kita justru lupa pada secangkir kopi yang sudah kita pesan dengan harga mahal. Tidak ada proses menikmati rasa kopi yang sebenarnya. Manis pahit, enak tidak enak menjadi tidak penting dibanding obrolan obrolan seru bersama teman-teman kita. Lalu dimana "trend kopi" nya?
Untuk bisa menikmati sesuatu kita sebenarnya hanya perlu diam. Benar-benar merasakan panasnya kopi yang terinduksi melalui cangkir. Benar-benar membaui aroma kopi panas yang segar. Benar-benar merasakan air kopi pelan-pelan masuk ke tenggorokan sampai memanaskan perut kita. Namun rata-rata mereka yang mengaku "mengikuti trend kopi" justru minum kopi seperti hanya formalitas agar terlihat keren dan gaul. Mereka tidak pernah benar-benar merasakan rasa kopi yang sesungguhnya. Kopi hanya faktor kedua setelah obrolan. Makanya harusnya mereka mengubah sebutan "trend kopi" menjadi "trend nongkrong di kafe kopi".
Saya pernah melakukan sebuah peliputan di restoran chef terkenal Indonesia, William Wongso. Saat itu kami sedang melakukan peliputan dengan topik trend minuman anggur. Ketika itu William Wongso menuangkan dua gelas anggur, 1/6 gelas anggur merah dan 1/6 gelas anggur putih. Mengapa saya bilang 1/6? Karena anggur yang beliau tuang memang sedikit sekali. Namun katanya memang seperti itulah cara menikmati anggur yang berkelas. Beliau pun meminta saya dan reporter saya untuk mencoba menikmati anggur yang konon berumur tahunan dan berharga mahal tersebut. Saya yang buta pengetahuan tentang anggur, langsung menenggak habis anggur, yang takarannya mungkin jika diukur dengan satu botol anggur cap Orang Tua, porsi anggur yang saya tegak seperti sisa-sisa anggur yang telah habis diminum untuk mabuk. Chef William Wongso tertawa melihat saya menenggak habis anggur yang beliau tuang, dalam satu kali tenggakan. Beliau pun mengajari saya cara menikmati anggur secara "benar".
"Minumnya pelan-pelan saja. Sedikit saja diminum, pelan-pelan dikumur-kumur dulu untuk memberikan kesempatan lidah merasakan rasa anggur, batu ditelan. Jangan langsung diminum seperti minum air.."Kata beliau sambil tersenyum. Saya jadi tahu mengapa takaran untuk minum anggur sangat sedikit. Hal terpenting dari minum anggur adalah "merasakan" rasa anggur tersebut sehingga tidak perlu takaran besar untuk minum secangkir anggur. Anggur ini untuk dirasakan, dinikmati keindahan rasanya, kelembutan teksturnya, Bukan untuk diminum banyak-banyak dan menjadikan kita mabuk.
Saya jadi berpikir, mungkin jika anak-anak muda itu benar-benar menikmati "trend kopi", mereka akan minum kopi seperti cara minum anggur yang diajarkan chef William tadi, pelan-pelan dengan penuh kesadaran. Itulah yang dinamakan menikmati....
"Apa yang dilakukan untuk mencapai realisasi sunyata atau realitas sejati yang sebenar-benarnya?" Tanya Seruni kepada Danang Aji yang sedang duduk di teras, sembari menyeruput kopi panas buatan Seruni.
Emosi seperti awan mendung yang menutup cerahnya langit. Apakah langit menjadi hilang karena awan pekat?Tidak. Langit biru tetap ada, namun keberadaannya hanya tertutup awan gelap. Setiap emosi segera akan berlalu. Namun mengapa ada manusia yang terus menerus memelihara dendam?Karena ia selalu hidup di masa lalu di saat awan hitam menutupi langit. Padahal awan selalu akan berlalu dan langit menjadi cerah. Namun ia selalu menganggap awan itu tetap ada sehingga kebijaksanaan dan cinta kasihnya hilang tertutup awan emosi. Maka lawannya badai dendam hanya tiga : menerima apa adanya, sadar akan saat ini, dan mengupas satu persatu emosi yang menyebabkan dendam. Memelihara dendam sama dengan memelihara penyakit berbahaya dari kecil hingga membahayakan nyawa anda.